Kamis, 04 September 2008

Baca deh

Aku sibuk, karena itu aku ada!

Tahun ini adalah tahun yang menyadarkan kebutuhan saya akan ‘kelambanan’. Dan sebagaimana diungkapkan Paolo Coelho di dalam masterpiecenya ‘The Alchemist’: kalau kita menghendaki sesuatu secara sungguh-sungguh, alam semesta akan bahu membahu mewujudkan kehendak itu, maka berbagai momentum yang saya temui di tahun ini pun adalah momentum-momentum yang mengungkap lebih lengkap tentang kesadaran menjadi ‘lamban’ itu. Di puncak momentum, di perpustakaan kecil milik sebuah lsm jakarta, saya menemukan sebuah buku yang sangat menggugah, Success Intelelligence: Timeless Wisdom for a Manic Society. Buku yang ditulis psikolog penggagas happines project, Robert Holden, Ph.D. Saya kemudian mencari buku tersebut di hampir semua toko buku yang menjual buku-buku impor, namun sudah tak kebagian. Dengan terpaksa saya memberanikan diri meminjamnya dari perspustakaan lsm itu, dan melakukan dosa yang kesekian kali: memfotokopi.

Di hampir setiap bagian, Holden memberikan quote-quote. Yang sangat menarik, di bawah bab ‘Busy Generation’, dia menulis:

Busy, busy, busy, busy, busy, busy…dead!

Dan di akhir paragraf pertama bagian ini, Robert memberi question tag: Aren’t we all? Bahwa kita semua sepenuhnya merupakan anggota ‘Generasi Sibuk’? Yang sepanjang hidupnya sibuk, lalu tahu-tahu mati!

Ciri pertama yang diindikasi Holden, adalah di dalam ucapan salam kita. Dulu, setelah kata halo, biasanya kita menambahkan kata-kata manis semacam: Senang sekali kita bisa bertemu! Nice to meet you! Sekarang, hampir di setiap perjumpaan yang keluar adalah kalimat: Lagi sibuk apa? Wah pasti sibuk nih!

Menurut tafsiran saya tambahan di salam kita dulu lebih humanis, karena kalimat itu seperti sedang menghargai kehadiran masing-masing kita di hadapan orang lain. Bahwa momen pertemuan adalah momen yang menggairahkan, mengandung chemistry. Di salam jenis kedua, yang seringnya menyudutkan kita untuk mereka-reka kesibukan, cenderung memaksa orang menjawab: Ya, lagi sibuk bla-bla-bla… Dan sudah merasuki pikiran banyak orang bahwa menjawab ‘Tidak’ adalah memalukan, menandakan kemalasan, tidak punya, tidak penting, kurang sukses, dan sejenisnya.

Kesibukan memang sesuatu yang tak bisa dihindari. Kesibukan yang sehat adalah yang sewaktu-waktu, bukannya ‘secara permanen sibuk’. Kesibukan menjadi gaya hidup, menjadi simbol status. Kita kemudian menjadi orang sibuk atau mencari-cari kesibukan. Setiap saat kita siap untuk menyatakan atau menjawab: Aku sibuk! Dengan meminjam silogisme Descartes, generasi sibuk senantiasa komat-kamit mantra: Aku sibuk, oleh karena itu aku ada! Sibuk adalah kebaikan. Menjadi sangat sibuk lebih baik lagi, laksana manusia unggul.

Namun kenyataanya lebih banyak terbalik. Kesibukan menjauhkan dari hidup atau menghalangi menikmati kehidupan, kata lain dari kebahagiaan. Bahkan sebuah proverbia menyatakan: hidup adalah apa yang terjadi ketika kesibukan mereka-reka rencana lain. Hidup hadir di luar kesibukan. Generasi sibuk terdorong oleh optical success, sebuah pencarian kesuksesan, namun tidak pernah benar-benar merasakan. Kita memperoleh banyak hal, namun menjadi sangat sibuk untuk sekedar menikmatinya. Kita mungkin mempunyai rumah, namun tersiksa dengan kesibukan demi membayar angsurannya, sehingga waktu berkualitas di rumah tidak pernah ada. Kita mempunyai suami/istri, namun sangat lelah untuk bisa mengolah cinta. Kita mempunyai anak, yang tanpa disadari sangat cepat menjadi dewasa. Akhirnya untuk bahagia pun, kita menjadi terlalu sibuk.

Robert J Shiller, professor ekonomi di Yale University pernah menulis: Kemampuan memfokuskan perhatian kepada hal-hal yang penting adalah karakteristik utama dari kecerdasan. Kesibukan permanen, menurut Holden, bukan hanya ketidakcerdasan, melainkan kegilaan. Contoh yang umum ia lihat misalnya di beberapa perusahaan di Wall Street apa yang disebut manuver ‘The Double Jacket’. Untuk memperlihatkan kepada para boss sebagai orang beretos ‘start early and finish late’, karyawan selalu membawa jaket cadangan, yang hanya disimpan di atas bahu kursi kerjanya.

Lalu apa yang mesti dilakukan? Jalan pertama adalah mematahkan berbagai mitos tentang kesibukan, yakni: bahwa kesibukan bukanlah kesuksesan yang nyata; kesibukan bukanlah tujuan kita; kesibukan tak mengandung nilai implisit; kesibukan sangat tidak produktif; dan kesibukan tidaklah people-friendly.

DAN saking saya tak ingin terjebak dalam kesibukan, saya stop curhatnya sampai sini… Hidup yuk! ***

Resource:

Peri Umar Farouk

1 komentar:

Lin mengatakan...

Bagus..bagus...

Menyadarkanku pada suatu hal...