Minggu, 25 Mei 2008

UPAYA HUKUM PEMERINTAH RI UNTUK MENGATASI NTB

UPAYA HUKUM PEMERINTAH INDONESIA

UNTUK MENGHAPUS HAMBATAN NON TARIF (NON TARIFF BARRIER) DIKARENAKAN ADANYA KASUS AVIAN INFLUENZA

Oleh:

Khotibul Umam, Candra Dewi PS, M. Rifqi, dan Agus S

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perdagangan yang melintasi batas-batas negara sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Hal ini terjadi karena setiap negara memiliki potensi alam dan sosial budaya yang berbeda-beda sehingga satu dengan lainnya timbul saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Di abad XX muncul inisiatif dari beberapa negara untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur praktik perdagangan dengan tujuan menciptakan iklim perdagangan yang bebas dan sehat (free and fair trade) sehingga setiap negara berpeluang mendapatkan keuntungan ekonomis secara adil.

Adapun perjanjian internasional yang paling terkenal di bidang perdagangan ini adalah Agreement on Establishing World Trade Organization (WTO). Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing World Trade Organization (WTO) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mentaati seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, sedangkan konsekuensi internalnya bahwa Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan hasil kesepakatan dalam WTO.[1]dan saling membutuhkan. di i alam dan sosial budaya yang berbeda-beda sehingga satu dengan lainnya timbul saling ketergantunga

Tujuan WTO adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full employment), memperluas produksi dan perdagangan serta memanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.[2] Tujuan-tujuan tersebut diperluas pula guna melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:[3]

1. WTO memperkenalkan pemikiran “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development) dalam pemanfaatan sumber kekayaan dunia dan kebutuhan untuk melindungi serta melestarikan lingkungan yang sesuai dengan tingkat-tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda-beda.

2. WTO mengakui adanya upaya-upaya positif guna mendapat kepastian bahwa negara-negara sedang berkembang, dan khususnya negara-negara kurang beruntung mendapatkan bagian perkembangan yang lebih baik dalam perdagangan internasional.

Fokus utama WTO pada dasarnya adalah untuk meminimalisir bahkan menghilangkan adanya hambatan bagi arus barang dari dan ke dalam negara-negara anggota. Hal ini mengingat adanya kebijakan dari negara-negara yang seringkali menghambat arus barang dimaksud. Hambatan dapat berupa hambatan tarif maupun hambatan selain tarif.

Hambatan tarif lebih mudah diprediksi (predictable), sedangkan hambatan nontarif sukar diprediksi. Hambatan selain tarif dalam kerangka GATT/WTO disebut Non Tariff Barier (NTB), yaitu tindakan dari negara-negara tertentu anggota WTO yang dengan maksud melindungi industri dalam negerinya, melakukan perlindungan-perlindungan tertentu yang dilakukan tidak dengan cara yang bersifat tariff measures. Adapun model-model perlindungan nontarif sangat beragam, antara lain sistem kuota; regulasi kesehatan, hewan, tanaman, hak buruh, hak asasi manusia, keamanan nasional; kurangnya transparansi; dan lain-lain.[4]

Kasus suspect flu burung (avian influenza) yang melanda Indonesia akhir-akhir ini berpotensi menimbulkan hambatan nontarif, khususnya bagi kegiatan ekspor unggas Indonesia ke negara lain. Hambatan nontarif seringkali terjadi karena adanya kebijakan dari Pemerintah dalam rangka keamanan dan kesehatan. Untuk itu, maka WTO mengaturnya melalui The WTO Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures atau yang lebih dikenal dengan SPS Agreement. SPS Agreement intinya adalah menegaskan kembali bahwa tidak ada anggota yang harus dihalangi untuk menetapkan dan menegakkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan ini tidak dilaksanakan dengan cara yang akan merupakan bentuk diskriminasi semena-mena dan yang tidak dapat dibenarkan antara para anggota dimana terdapat keadaan yang sama, maupun bentuk restriksi terselubung terhadap perdagangan internasional.[5]

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dalam kerangka WTO perlu diketahuai apakah adanya avian influenza menjadi halangan non tarif (Non Tariff Barrier/NTB) bagi ekspor unggas Indonesia ke negara lain dan bagaimana langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam hal avian influenza menjadi NTB.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang tersebut, masalah teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah adanya avian influenza menjadi halangan non tarif (NTB) bagi ekspor unggas Indonesia?

2. Bagaimana langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam hal avian influenza menjadi NTB?

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Avian Influenza Menjadi Halangan NonTarif (Non Tariff Barier) Bagi Ekspor Unggas Indonesia

Perlindungan nontarif telah menjadi cara-cara proteksi perdagangan masa kini yang menggantikan sistem perlindungan lama melalui tarif yang berdasarkan semangat free trade, tetapi free trade yang terorganisir. Akan tetapi jelas bahwa perlindungan nontarif ini sebenarnya telah merusak tatanan perekonomian dunia, karena sulit dideteksi dan diukur.[6]

Terkait dengan hambatan nontarif (non tariff barrier) ini Ralph H. Folsom menyatakan bahwa:

There are numerous nontariff trade barriers applicable to imports. Many of these barriers arise out of safety and health regulations. Others concern the environtment, consumer protection, product standars and government procurement. Many of the relevan rules were created for legitimate consumer and public protection reasons.[7]

Berdasarkan pada pemaparan tersebut, maka munculnya hambatan nontarif seringkali disebabkan oleh adanya peraturan atau kebijakan dari pemerintah suatu negara untuk alasan keamanan dan kesehatan yang mungkin menyebabkan terjadinya proteksi yang terselubung. Dalam konteks GATT mengenai NTB ini telah mendapatkan pembahasan dalam berbagai putaran perundingan, yaitu mulai Kennedy Round, Tokyo Round, dan Uruguay Round. Beberapa contoh NTB yang terkenal adalah quota, subsidi, state trading enterprise, standar kualitas, syarat kesehatan dan keamanan.[8]

Merebaknya kasus suspect avian influenza atau flu burung juga menyebabkan terjadinya NTB. Hal ini terlihat misalnya adanya penolakan impor unggas ke negara Jepang.[9] Penolakan dimaksud karena masih adanya ketidakseriusan dan ketidakjelasan sikap pemerintah pada waktu itu dalam menangani kasus flu burung, padahal adanya flu burung berdampak serius bagi kesehatan manusia dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Untuk itu, maka semua negara berhak menetapkan dan menegakkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan ini tidak dilaksanakan dengan cara yang akan menjadi bentuk diskriminasi semena-mena dan tidak dapat dibenarkan antara para anggota dimana terdapat keadaan yang sama, maupun bentuk restriksi terselubung terhadap perdagangan internasional.

Ketentuan dimaksud tertuang dalam SPS Agreement yang intinya tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar WTO yaitu prinsip nondiskriminasi berupa Most Favoured Nation Principle (MFN) dan menyebabkan terjadinya restriksi terselubung.

Flu burung atau Avian Influensa (AI) sesuai klasifikasi risiko oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia, masuk dalam kategori List A OIE sebagai penyakit fatal karena sifat zoonosis dan risiko kerugian ekonomi yang sangat besar bila dilihat dari aspek penularannya yang sangat cepat dan sangat virulen. Oleh sebabnya, sesuai ketentuan SPS bila suatu negara telah tertular virus flu burung berdasarkan rekomendasi Badan kesehatan Hewan Dunia (OIE) harus dinyatakan tertutup tidak diperbolehkan melakukan eksportasi unggas dan produknya. Sebaliknya negara import pun memiliki hak menolak semua jenis unggas dan produknya yang berasal dari negara tertular tersebut.[10]

Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditegaskan bahwa adanya kasus supsect flu burung di Indonesia menjadi salah satu NTB terutama bagi masuknya produk unggas Indonesia ke negara lain. Untuk itu, maka diperlukan langkah konkrit dari Pemerintah dan masyarakat pada umumnya untuk menyelesaikan kasus dimaksud dengan tetap memperhatikan dan mengindahkan prinsip-prinsip dan ketentuan yang terdapat dalam WTO.i ap memperhatikan dan mengindahkan prinsip-prinsip dan ketentuan yang terdapat dalam aikan kasus dimaksudterutama bagi

2. Langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam Hal Avian Influenza Menjadi NTB

Kasus flu burung juga pernah melanda negara Chile dan adanya menyebabkan terhambatnya kegiatan ekspor unggas negara tersebut ke Uni Erora (European Union/EU). Akan tetapi negara tersebut berhasil menempuh langkah-langkah internal sehingga pada akhirnya Chile berhasil mengeskpor kembali unggas ke EU. Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah Chile, di mana Indonesia juga bisa belajar darinya yaitu:[11]

1) Pada tataran politik dibentuk sebuah komite oleh Menteri Pertanian di bawah Sekertariat Departemen Pertanian dan penasehat-penasehat dari Departemen Pertanian, komite ini bertemu secara teratur dengan perwakilan industri dan asosiasinya dalam bidang unggas.

2) Pada tataran teknis dibentuk sebuah komite oleh Permanent Veterinary Staff yang terdiri dari seorang staf teknis di bidang industri unggas, staf-staf administrasi dari SAG, serta perwakilan dari para spesialis di bidang kesehatan unggas

3) Pada tataran operasional dibentuk sebuah struktur yang terdiri dari staf profesional dan teknis dari SAG dan spesialis yang dipekerjakan untuk tindakan operasional.

Masing-masing komite tersebut bekerja dengan optimal dengan tetap menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain di luar Chile, sehingga hasilnya menunjukkan bahwa pada tanggal 19 Desember 2002 Chile diumumkan oleh OIE bebas dari avian influenza dengan mendasarkan pada bukti-bukti ilmiah.[12]

Dalam kontek Indonesia, Pemerintah telah melakukan serangkaian upaya untuk keluar dari kasus flu burung, karena di samping memang membahayakan keselamatan jiwa manusia, dalam hal perdagangan dapat menjadi hambatan nontarif bagi kegiatan ekspor unggas Indonesia. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1996 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza dan Inpres Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza).

Di latar belakangi oleh adanya perkembangan virus flu burung (avian influenza) di wilayah Indonesia yang menunjukkan peningkatan dan sudah mengarah pada tingkat yang sangat membahayakan, Presiden melalui Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza). Susbtansi dari Inpres tersebut yaitu:

PERTAMA : Sesuai lingkup tugas dan kewenangannya masing-masing:

a. meningkatkan intensitas dan melakukan langkah-langkah konkret dan efisien untuk penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza);

b. melakukan sosialisasi dan edukasi secara terus menerus mengenai bahaya dan penanggulangan virus flu burung (avian influenza) di daerah yang berisiko tinggi atau daerah endemik virus flu burung (avian influenza).

KEDUA : Para Gubernur dan Bupati/Walikota:

1. memimpin secara aktif penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza) di wilayahnya masing-masing dengan melibatkan semua komponen masyarakat;

2. memusnahkan unggas-unggas yang telah terkontaminasi atau yang dipelihara di permukiman penduduk di wilayah yang terindikasi atau diduga telah terjangkit virus flu burung (avian influenza) dan memberikan kompensasi yang wajar;

3. mengalokasikan dana untuk pelaksanaan penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza).

KETIGA :

Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing melakukan upaya yang dipandang perlu untuk menangani dan mengendalikan virus flu burung (avian influenza) dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Palang Merah Indonesia (PMI).

KEEMPAT :

Panglima TNI melakukan operasi bakti untuk membantu Pemerintah Daerah dalam rangka menangani dan mengendalikan virus flu burung (avian influenza).

KELIMA :

Menteri Keuangan menyiapkan anggaran dan mengkoordinasikan serta mengoptimalkan pendanaan dalam rangka penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza) sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini.

KEENAM :

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (avian influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza:

a. membentuk satuan tugas dalam rangka penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza);

b. mengkoordinasikan pelaksanaan Instruksi Presiden ini.

KETUJUH :

Menyampaikan laporan implementasi penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza) setiap bulan kepada Presiden dan masyarakat luas.

KEDELAPAN :

Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.

Pada tataran praktis Departemen Pertanian telah bekerjasama dengan Departemen Kesehatan untuk memantau kemungkinan adanya penularan AI ke manusia khususnya di daerah-daerah tertular melalui survei dan uji serologis pada manusia dengan hasil negatif AI. Langkah-langkah yang telah dilakukan yaitu:[13]

1) Sistem pelaporan dini (early warning system) yaitu melaporkan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan terhadap setiap adanya kejadian penyakit dalam kesempatan pertama atau selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.

2) Pengiriman sample dalam rangka peneguhan diagnosa penyebab penyakit ke laboratorium yang berwenang yaitu Balai Besar Veteriner/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional.

3) Pengamatan dan surveilans di seluruh wilayah masing-masing terutama di daerah padat populasi unggas dan daerah yang pernah terinfeksi AI sehingga setiap adanya laporan kejadian penyakit dapat dideteksi secara dini.

4) Melaksanakan kegiatan vaksinasi massal AI secara optimal terhadap seluruh unggas rakyat di wilayah masing-masing sesuai dengan surat Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No.:4141/SR.140/F.5/0704 tanggal 23 Juli 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Vaksinasi Massal Avian Influenza.

5) Koordinasi dengan seluruh pihak terkait, khususnya dengan masyarakat maupun organisasi bidang perunggasan di wilayah masing-masing.

6) Kesiagaan darurat terhadap timbulnya penyakit hewan menular.

7) Kecepatan dan ketepatan konfirmasi diagnosa.

8) Respons yang cepat dari Pemerintah Kabupaten/Kota khususnya otoritas kesehatan hewan.

9) Monitoring dan evaluasi setiap langkah pemerintah maupun swasta dalam pelaksanaan 9 (sembilan) strategi penanggulangan yang telah ditetapkan.

10) Pemotongan rantai penyebaran penyakit melalui pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas unggas dan produk unggas serta bahan ikutannya.

11) Kepemimpinan yang kuat dan komitmen dari Pemerintah Indonesia baik di tingkat nasional maupun propinsi/kabupaten/kota sangat esensial dalam pelaksanaan kampanye dan pengadaan dana penanggulangan wabah AI nasional.

Setelah melakukan langkah-langkah tersebut, mereka juga sudah menetapkan rencana tindak lanjut berupa:

1) Ditargetkan pada tahun 2007 Indonesia akan bebas kembali dari penyakit AI melalui penerapan langkah strategis penanggulangan mulai dari peningkatan biosekuriti, vaksinasi, depopulasi, pengawasan lalu lintas dan tindakan/langkah strategis lainnya.

2) Untuk itu program vaksinasi yang telah dilaksanakan akan terus dilakukan sampai tahun 2005, kemudian dilanjutkan dengan program surveilans pembebasan sampai tahun 2007.

3) Perlu diupayakan memproduksi vaksin AI inaktif menggunakan masterseed isolat virus AI yang low pathogenic untuk menggantikan vaksin yang digunakan sekarang. Untuk itu Balai Besar Veteriner dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner agar terus melakukan identifkasi isolat virus yang bersifat low pathhogenic.

4) Pemerintah (Pusat dan Daerah) akan terus mengupayakan ketersediaan anggaran yang diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan program pemberantasan wabah AI.

5) Untuk membantu pemerintah dalam program pengendalian dan pemberantasan wabah penyakit hewan menular seperti AI, perlu dipikirkan adanya "sharing" dana program pengendalian dan pemberantasan antara pemerintah, industri dan asosiasi serta pelaku usaha bidang peternakan.

6) Mengingat lalu lintas unggas dan produknya dari satu wilayah ke wilayah lainnya atau dari satu pulau ke pulau lainnya sangat berpotensi sebagai media penyebar avian influenza, maka peran dan fungsi karantina hewan terutama di pintu-pintu masuk sangat esensial. Begitu juga keberadaan dari institusi yang melakukan fungsi pembinaan dan pengaturan terhadap peternakan dan kesehatan hewan di propinsi/kabupaten/kota sangat penting, terutama dalam menggunakan kewenangannya untuk memastikan bahwa komoditi unggas yang dilalulintaskan harus memenuhi persyaratan kesehatan hewan yaitu berasal dari peternakan yang bebas AI sebagaimana ketentuan yang berlaku.

7) Kerjasama yang baik dan sinergis antara Pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan industri/pelaku usaha di bidang perunggasan yang selama ini terjalin diharapkan akan berjalan lebih baik lagi.

8) Dalam rangka mempertahankan status bebas AI di beberapa wilayah Indonesia diperlukan adanya kesiagaan dari semua stake holder, kemampuan early detection dan pelatihan bagi petugas teknis kesehatan hewan.

9) Perlu adanya pelaksanaan system hewan sentinel (sentinel herd) dan surveilans pada hewan sentinel yang dijadikan dasar dalam penetapan status bebas suatu zona/kompartemen.

10) Mengingat avian influenza merupakan penyakit baru di Indonesia dan untuk antisipasi masuknya penyakit eksotik lainnya serta penyebaran penyakit hewan menular dari satu wilayah ke wilayah atau dari satu pulau ke pulau lainnya, maka diperlukan eksistensi keberadaan institusi yang melakukan pembinaan, pengaturan terhadap peternakan dan kesehatan hewan di Propinsi/Kabupaten/Kota disertai ketersediaan tenaga teknis kesehatan hewan (dokter hewan dan paramedic veteriner).

11) Perlu adanya keseragaman waktu pengambilan sample untuk pemeriksaan titer antibody Avian Influenza, sehingga memberikan hasil yang dapat dipakai sebagai bahan evaluasi lanjutan (waktu pengambilan sample minimal setelah 4 minggu dari saat vaksinasi dilakukan).

12) Perlu dilakukan pengambilan sample serta pemeriksaan laboratorik dari populasi ternak unggas yang hanya menunjukkan gejala klinis berupa penurunan produksi telur untuk mendeteksi kemungkinan adanya kasus AI yang bersigat low pathog

Langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud diharapkan dapat menjadi bukti ilmiah, sehingga Indonesia akan mendapatkan pernyataan bebas flu burung dari OIE. Namun hingga paper ini dibuat Indonesia belum memperoleh pernyataan resmi dari OIE, sehingga kasus flu burung belum dapat terselesaikan secara tuntas.

Kalau kita melihat suspect flu burung ternyata tidak hanya melanda Indonesia, akan tetapi negara-negara lain. Untuk itu kaitannya dengan arus barang berupa unggas harus memperhatikan dan melaksanakan salah satu prinsip GATT/WTO yaitu Most Favoured Nation. Article I (1) GATT menyatakan bahwa:

With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation ...and with respect to the method of levying such duties and charges...any advantage, favour, previlege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.

Dengan mengacu pada prinsip MFN, maka semua negara harus diperlakukan sama dan sederajat dalam rangka menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanan perdagangan yang diberlakukan oleh suatu negara. Jadi berdasarkan prinsip MFN suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan not less favourable terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lainnya.[14]

Prinsip MFN ini juga berlaku dalam hal suatu negara membuat peraturan atau kebijakan di bidang sanitary dan phytosanitary. SPS Agreement dalam ketentuan Pasal 2 (3) nya menyebutkan bahwa:

Para anggota harus memastikan bahwa tindakan-tindakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak menimbulkan diskriminasi semena-mena atau tidak beralasan antara para anggota di mana terdapat keadaan yang sama atau serupa, termasuk di antara wilayah mereka sendiri dan wilayah anggota lain. Tindakan-tindakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak boleh diterapkan dengan cara yang akan merupakan restriksi terselubung terhadap perdagangan internasional.

Kemudian terkait dengan hal ini Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) SPS Agreement menyebutkan bahwa:

Para anggota dapat memperkenalkan atau memiliki tindakan-tindakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan sifat perlindungan kesehatan manusia hewan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang lebih tinggi dari perlindungan yang akan diperoleh dengan pengaturan berdasarkan standar, pedoman, atau rekomendasi internasional jika hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau sebagai akibat dari tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang oleh suatu anggota ditentukan memakai sesuai dengan ketentuan yang relevan pada Pasal 5 ayat (1) ampai dengan ayat (8). Meskipun hal-hal di atas semua tindakan yang menghasilkan suatu tingkat perlindungan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan perlindungan yang dicapai dengan tindakan berdasarkan standar, pedoman atau rekomendasi internasional, tidak menyimpang dari setiap ketentuan lain dalam persetujuan ini.

Para anggota harus menerima tindakan-tindakan sanitary atau phytosnitary dari para anggota lain sebagai tindakan sepadan meskipun tindakan ini berbeda dengan tindakan mereka sendiri atau dengan tindakan yang digunakan para anggota lain yang berdagang dalam produk yang sama, jika anggota pengekspor menunjukkan kepada anggota pengimpor secara objektif bahwa peraturannya mencapai tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, yang layak bagi anggota pengimpor tersebut. Untuk tujuan ini, anggota pengimpor harus diberikan akses sewajarnya atas permintaan untuk mengadakan pemeriksaan, pengujian, dan prosedur lainnya yang relevan.

Pada akhirnya dapat ditekankan di sini bahwa langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia harus lebih dioptimalkan sehingga secara ilmiah dapat membuktikan bahwa Indonesia bebas dari flu burung. Dalam hal ekspor unggas kita di tolak oleh negara lain, sebaiknya Pemerintah meneliti apakah terhadap like product dari negara eksportir selain Indonesia juga di tolak. Kalau ekportir dari negara lain yang sama-sama suspect flu burung diterima, maka berdasarkan prinsip MFN eksportir Indonesia melalui instansi yang berwenang berhak mengajukan keberatan.tingkat yang sangat membahayakan, Presiden melalui

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Avian influenza menjadi halangan nontarif (NTB) bagi ekspor unggas Indonesia.

2) Langkah yang seharusnya ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam hal avian influenza menjadi NTB berdasarkan Pasal 6 Ayat 3 SPS Agreement adalah perlunya mendapatkan bukti-bukti ilmiah untuk membuktikan bahwa Indonesia bebas dari flu burung atau setidak-tidaknya dalam tingkat yang rendah (free areas or areas of low pest or disease prevalence). Pernyataan bebas flu burung yang diberikan oleh OIE dapat menjadi dasar bagi Indonesia untuk melakukan kegiatan ekspor unggasnya kembali.

2. Saran-Saran

Berdasarkan pada kesimpulan tersebut Penulis memberikan saran-saran atau rekomendasi sebagai berikut:

1) NTB merupakan hambatan dalam perdagangan internasional yang sulit diprediksi sehingga perlu kecermatan dari para pihak untuk menyikapinya.

2) Pemerintah harus lebih serius dalam menangani kasus suspect flu burung ini dengan melakukan langkah-langkah konkrit untuk memperoleh pernyataan bebas flu burung dari OIE sehingga ekspor unggas Indonesia kembali berjalan lancar.

REFERENCE

Anonim, 2008, The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008.

Adolf, Huala, 1997, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

----------------, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Deptan, 2004, Rapat Koordinasi dan Evaluasi Nasional Penanggulangan Avian Influenza dengan tema "Menuju Indonesia Bebas Avian Influenza tahun 2007", pada tanggal 11-13 Oktober 2004 bertempat di Aula Pendopo Kabupaten Blitar, http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/, tanggal akses 22 Mei 2008

Fuady, Munir, 2004, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hawin, M., 2008, GATT/WTO, Bahan Ajar pada Kuliah GATT/WTO Program Pascasarjana Ilmu Hukum FH UGM.

Sukarmi, 2002, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Jakarta: Sinar Grafika.

The WTO Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures, www.wto.org, tanggal akses 23 Maret 2008.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1996 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza.

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza).



[1] Sukarmi, 2002, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Jakarta: Sinar Grafika, hal v.

[2] Huala Adolf, 1997, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal 118.

[3] GATT Focus No. 107, May 1994, hal 11.

[4] Munir Fuady, 2004, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal 78.

[5] Lihat Konsideran SPS Agreement.

[6] Ibid., hal 79.

[7] Ralph H. Folsom, 1996, International Trade and Investment in A Nutshell, St. Paul Minn: West Publishing. Co, hal 93.

[8] M. Hawin, 2008, GATT/WTO, Bahan Ajar pada Kuliah GATT/WTO Program Pascasarjana Ilmu Hukum FH UGM, Yogyakarta, hal 7.

[9] Anonim, 2004, Jepang Tolak Unggas RI, Artikel pada Harian Suara Pembaruan.

[10] Terjemahan Bebas dari The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008.

[11] Terjemahan Bebas dari The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008.

[12] Anonim, 2008, The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008, hal 7.

[13] Deptan, 2004, Rapat Koordinasi dan Evaluasi Nasional Penanggulangan Avian Influenza dengan tema "Menuju Indonesia Bebas Avian Influenza tahun 2007", pada tanggal 11-13 Oktober 2004 bertempat di Aula Pendopo Kabupaten Blitar, http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/, tanggal akses 22 Mei 2008.

[14] Huala Adolf, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal 108-109.

Rabu, 21 Mei 2008

Kebangkitan Notaris

SEMANGAT 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL:

MEMBANGUN MARTABAT DAN MENJAGA KEDAULATAN BANGSA MELALUI PENDIDIKAN KENOTARIATAN DAN PROFESI NOTARIS

20 Mei 1908 sebagai tanggal lahirnya Budi Utomo dianggap sebagai hari kebangkitan nasional. Di tahun 2008 ini genap 100 tahun kita menapak hari yang bersejarah tersebut. Perlu menjadi renungan bersama, apakah Indonesia sudah benar-benar bangkit di era kemerdekaan ini. Kebangkitan nasional di era kemerdekaan membutuhkan peran dari seluruh elemen masyarakat, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Sementara itu globalisasi yang begitu cepat merupakan tantangan sekaligus berpengaruh secara signifikan terhadap semua dimensi kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, perlu ditanamkan sejak dini nasionalisme, antara lain dengan mempelajari dan menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum, serta pedoman moral yang merupakan local genius bangsa Indonesia.

Institusi pendidikan merupakan institusi yang strategis dalam rangka mengajarkan nilai-nilai moral bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila. Pendidikan merupakan wahana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945. Dengan penanaman nilai-nilai Pancasila, maka out put yang diharapkan adalah munculnya generasi penerus yang memiliki kecerdasan dan akhlak yang mulia.

Pada era reformasi ini, adanya supremasi hukum merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri, walaupun dalam realitasnya jalan ke arah itu masih membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang lebih dari semua elemen masyarakat yang ada di negeri ini. Di samping itu juga diperlukan partisipasi aktif dari aparat penegak hukum untuk kepentingan dimaksud, termasuk dalam hal ini adalah Notaris.

Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kedudukan dan peran penting dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang bermartabat dan berdaulat dalam nuansa kepastian hukum. Seiring dengan perkembangan kehidupan yang semakin modern yang diwarnai dengan meningkatnya hubungan-hubungan kontraktual antara sesama warga negara ataupun lembaga-lembaga sosial dan lembaga pemerintah, maka terasa sekali akan pentingnya jasa pelayanan Notaris, yaitu jasa pembuatan akta-akta notariil yang mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Dengan perkataan lain, Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat), amat berkepentingan terhadap keberadaan Notaris yang menjunjung tinggi moralitas dan profesionalisme.

Tugas mulia yang diemban notaris tersebut tidak selamanya dapat berjalan dengan mulus, mengingat masih banyak ditemui permasalahan kenotariatan yang terus bermunculan. Permasalahan dimaksud terdapat pada semua jenjang kehidupan kenotariatan, baik sejak pendidikan, pengangkatan, pelaksanaan tugas sampai dengan pengawasan. Secara umum, beberapa contoh permasalahan kenotariatan itu dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, pada jenjang pendidikan upaya peningkatan kualitas telah banyak dilakukan, antara lain dengan mengangkat strata pendidikan kenotariatan ke jenjang Magister (S2). Hal ini belum cukup tanpa diikuti keseriusan pembenahan kualitas input, proses pendidikan maupun kurikulum. Pembenahan pendidikan kenotariatan harus segera dilakukan oleh semua Perguruan Tinggi Penyelenggara Program Magister Kenotariatan (MKn).

Kedua, pada jenjang pengangkatan, sejak adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan diikuti dengan sejumlah peraturan pelaksanaannya dirasakan oleh calon-calon Notaris bahwa persyaratan pengangkatan semakin berat dan mahal serta prosesnya pun semakin panjang dan lama.

Ketiga, pada jenjang pelaksanaan tugas, terdapat kecendrungan meningkatnya kasus-kasus yang menimpa Notaris, baik yang dipanggil aparat Kepolisian, Kejaksaan, sampai dengan menjadi terdakwa di Pengadilan. Pada umumnya kasus-kasus itu muncul karena lemahnya moral dan kualitas akta yang dibuatnya.

Keempat, pada jenjang pengawasan. Perubahan fundamental pengawasan Notaris dari semula oleh Pengadilan ke Majelis Pengawasan diharapkan mampu meningkatkan kinerja para Notaris. Namun demikian dalam kenyataannya keberadaan Majelis Pengawas belum didukung dengan sarana, prasarana, dan finansial yang memadahi sehingga menjadi kurang profesional.

Dari permasalahan tersebut dapat ditekankan bahwa permasalahan utamanya adalah masih belum banyaknya Notaris yang memiliki moralitas dan profesionalisme yang memadahi. Akibatnya malpraktik notaris masih sering kita jumpai, sehingga dapat menurunkan citra Notaris sebagai profesi mulia (nobel profession). Di samping itu, masih dirasakan adanya peraturan perundang-undangan di bidang kenotariatan yang secara filosofis dan sosilogis belum sejalan dengan misi yang diemban oleh profesi Notaris.

Pendidikan kenotariatan yang dilaksanakan oleh Program MKn dalam hal ini harus mengambil peran, karena merupakan awal dari lahirnya profesi Notaris. MKn harus mampu memberikan bekal ilmu kenotariatan dan juga pendidikan moral yang memadahi sehingga out put yang dihasilkan nanti adalah munculnya Notaris-Notaris yang memiliki integritas moral sekaligus profesionalisme yang tinggi.

Dalam rangka memberikan bekal profesionalisme inilah, Pendidikan Notariat di samping menekankan pada faktor keahlian (skill) yakni terkait dengan pembuatan akta, juga perlu didukung oleh penguasaan akan teori hukum sebagai bagian dari ilmu hukum (legal science) yang mempelajari hukum melalui pendekatan interdisipliner. Obyek teori hukum lebih luas dari dogmatika hukum, sehingga pertanyaan-pertanyaan teori hukum tidak bisa langsung dijawab melalui kerangka hukum positif. Notaris sebagai pejabat umum, dengan menguasai teori hukum dan lebih lanjut ke filsafat hukum akan dapat memecahkan masalah-masalah hukum yang perkembangannya lebih cepat daripada munculnya undang-undang yang mengatur perihal permasalahan hukum tertentu.

Penguasaan atas ilmu hukum yang meliputi aspek pembuktian berupa ilmu tentang akta dan teori hukum akan melahirkan perangkat ilmiah atau teori bidang ilmu berupa ilmu kenotariatan dengan kompetensi pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill) yang memadahi.

Sementara dalam rangka memberikan bekal dan meningkatkan integritas moral, maka pendidikan moral dan etika perlu mendapatkan porsi yang cukup. Dengan kata lain di samping secara khusus melalui mata kuliah tersendiri, juga dapat diberikan melalui semua mata kuliah, yakni dengan memasukkan nilai-nilai moral pada saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Atas pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan dimaksud dan sekaligus adanya komitmen untuk mewujudkan Notaris yang bermoral dan profesional, serta dalam rangka memperinganti hari Kebangkitan Nasional, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM bersama Ikatan Notaris Indonesia (INI) DIY menyelenggarakan Semiloka Nasional tentang Kebangkitan Pendidikan dan Profesi Notaris Sebagai Upaya Mengangkat Kembali Martabat dan Kedaulatan Bangsa Indonesia.

Adapun yang menjadi tujuan dari semiloka dimaksud adalah (1) meningkatkan kualitas pendidikan kenotariatan, baik dari aspek moralitas maupun profesionalisme Notaris, (2) menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mengatur syarat-syarat dan mekanisme pengangkatan Notaris sehingga semakin efisien, efektif dan adil, (3) meningkatkan kinerja Notaris terutama pada aspek moral dan profesionalisme, dan (4) meningkatkan penyelenggaraan dan hasil pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas.

Melalui Semiloka ini diharapkan akan mampu memberikan kontribusi berupa penjagaan dan peningkatan komitmen setiap Perguruan Tinggi penyelenggara program MKn akan arti pentingnya Pendidikan Kenotariatan yang berkualitas, terutama dari aspek moralitas dan profesionalisme; penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan terutama yang terkait dengan pengangkatan Notaris, sehingga kebutuhan Notaris di Indonesia dapat tercukupi secara proporsional; memunculkan kesadaran akan arti pentingnya suatu gerakan nasional di kalangan Notaris untuk meningkatkan moralitas dan profesionalisme; dan terwujudnya pengawasan Notaris yang efektif dan efisien.

Melalui semangat kebangkitan nasional, marilah kita bersama-sama membangun insan Notaris Indonesia yang unggul di bidang keilmuan (science) dan keahlian (skill), serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral (values), antara lain sebagaimana yang terdapat dalam dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia Pancasila. Hanya dengan memiliki dan berbekal pada kemampuan inilah, kalangan Notaris Indonesia akan dapat memberikan kontribusinya terhadap pembangunan nasional di bidang hukum, khususnya berkaitan pemberian alat bukti otentik berupa akta notariil bagi masyarakat terkait dengan adanya kejadian hukum dan perbuatan hukum yang berlangsung. Dengan demikian Notaris akan ikut berperan serta dalam menciptakan idealitas hukum berupa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Jumat, 09 Mei 2008

ANALISIS PUTUSAN KPPU

ANALISIS PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR: 07/KPPU-L/2007

(KASUS KEPEMILIKAN SILANG SAHAM PT. INDOSAT, Tbk DAN PT. TELEKOMSEL OLEH TEMASEK HOLDING COMPANY)

By: Khotibul Umam, S.H.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah negara yang sangat potensial untuk dikembangkan oleh para pelaku bisnis karena potensi alam yang melimpah dan letak geografis yang strategis. Berdasarkan kondisi tersebut tidak heran jika banyak bangsa lain yang berkeinginan menjadi penguasa di Indonesia, sejak zaman penjajahan hingga era kemerdekaan ini. VOC merupakan contoh klasik terjadinya praktik monopoli yang dampaknya merugikan rakyat kebanyakan.

Kebijakan pemerintah orde baru di bidang ekonomi telah berhasil menumbuhkan korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian Indonesia. Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa gelintir pengusaha yang mempunyai ikatan romantis dengan penguasa.[1] Namun di sisi lain tidak ada instrumen hukum yang secara tegas dapat diterapkan untuk menindak pelaku praktik monopoli dimaksud. Pengaturan tentang anti monopoli masih tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan dan bersifat sektoral. Akibatnya penegakan hukum di bidang ini menjadi sangat tidak efektif.

Beberapa alasan mengapa pemerintah pada era itu enggan memberikan pengaturan tentang larangan praktik monopoli, antara lain yaitu:[2]

1. Pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan agar dapat menjadi lokomotif pembangunan, sehingga diperlukan adanya perlakuan khusus walaupun dampaknya akan menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut.

2. Pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan yang bersangkutan telah bersedia menjadi pionir di sektor tertentu. Tanpa adanya fasilitas monopoli dan proteksi, pemerintah sulit memperoleh kesediaan investor untuk menanamkan modalnya di sektor tersebut.

3. Untuk menjaga berlangsungnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dari rezim yang sedang berkuasa.

Melihat kondisi dimaksud, tidak heran jika sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis menginginkan undang-undang yang secara komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat dimaksud, terutama karena penguasa sering memberikan perlindungan berupa previlege atau perlakuan khusus kepada pelaku bisnis tertentu.

Terjadinya krisis ekonomi menyadarkan dan mendorong bagi diundangkannya undang-undang yang secara khusus mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.

Untuk itu, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah undang-undang yang mengatur persoalan antimonopoli, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Adapun tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999 yaitu:[3]

a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Sebagai lembaga yang akan mengawasi pelaksanaan undang-undang ini sekaligus melakukan penegakan hukum (law enforcment), maka berdasarkan perintah Pasal 30 ayat (1) dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU saat ini telah berhasil menangani perkara-perkara praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, antara lain yang cukup terkenal adalah kasus Temasek Holding Ltd, sebuah perusahaan Singapura yang secara bersama-sama menguasai PT. Telkomsel dan PT. Indosat, Tbk.

Dalam putusannya KPPU antara lain menyatakan bahwa Temasek terbukti melanggar Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 27 (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 17 ayat (1) berisi ketentuan yang melarang penguasaan atas produksi dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, sedangkan Pasal 27 (a) melarang pelaku usaha memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama.[4] Konsekuensi dari pelanggaran tersebut, KPPU menjatuhkan denda Rp. 25 Miliar dan memerintahkan perusahaan tersebut melepaskan kepemilikan sahamnya, melepaskan hak suara, hak mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu perusahan pilihan yang akan dilepas, yaitu pilihan antara PT. Telkomsel atau PT. Indosat Tbk.

Adanya putusan KPPU dimaksud menimbulkan pro dan kontra di kalangan pebisnis dan praktisi hukum. Mereka yang setuju memiliki argumentasi normatif bahwa Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 27 (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah larangan yang bersifat per se rule, yaitu larangan yang secara tegas dibuat dalam rangka memberikan kepastian hukum (legal certainty) bagi para pelaku usaha. Sementara pihak yang kontra terhadap putusan KPPU menyatakan bahwa Indonesia bukan lagi negara yang investor friendly, karena niat pemerintah mengundang investor asing masuk Indonesia secara lebih luas melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menjadi terganjal.[5]

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan analisis Putusan KPPU dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007, yakni Kasus Temasek Holdings berupa kepemilikan silang saham (cross ownership) PT. Indosat Tbk. dan PT. Telkomsel yang menurut KPPU telah menyebabkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat di bidang telekomunikasi.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang di atas, permasalahan teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana putusan KPPU mengenai kepemilikan silang saham PT. Indosat Tbk dan PT. Telkomsel oleh Temasek Holdings ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

2. Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Temasek Holdings terkait dengan Putusan dimaksud?

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Putusan KPPU Mengenai Kepemilikan Silang Saham PT. Indosat Tbk dan PT. Telkomsel oleh Temasek Holdings ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2007 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menjatuhkan sanksi kepada BUMN Singapura Temasek Holding Company, sebagai sebuah perusahaan yang melakukan investasi di bidang telekomunikasi (telepon seluler).

Dalam putusannya KPPU dimaksud menyatakan, bahwa Pertama, Temasek Holding, Pte.Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holdings Company Pte. Ltd., Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communications Ltd., Indonesia Communications Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Pte. Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan praktik monopoli selama menguasai saham PT. Indosat Tbk. dan PT. Telkomsel. KPPU berhasil membuktikan, bahwa Temasek Holding telah melanggar larangan kepemilikan silang (cross ownership) yang diatur dalam Pasal 27 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1999. Kedua menyatakan PT. Telkomsel telah melakukan monopoli pasar seperti yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999. Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa:

Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Ketiga, bahwa PT. Telkomsel tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1999, yakni tentang posisi dominan. Keempat, memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holdings Company Pte. Ltd., Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communications Ltd., Indonesia Communications Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Pte. Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk menghentikan tindakan kepemilikan saham di PT. Telkomsel dan PT. Indosat Tbk, dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya dari salah satu perusahaan yaitu PT. Telkomsel atau PT. Indosat, Tbk. dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum hukum tetap.

Kelima, memerintahkan kepada Temasek Holdings bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holdings Company Pte. Ltd., Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communications Ltd., Indonesia Communications Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Pte. Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk memutuskan perusahaan yang akan dilepas kepemilikan sahamnya serta melepaskan hak suara dan hak untuk mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu perusahaan yang akan dilepas yaitu PT. Telkomsel atau PT. Indosat, Tbk. sampai dengan dilepasnya saham secara keseluruhan sebagaimana diperintahkan pada diktum keputusan keempat.

Keenam, pelepasan kepemilikan saham dilakukan dengan syarat: (a) untuk masing-masing pembeli dibatasi maksimal 5 % dari total saham yang dilepas; dan (b) pembeli tidak boleh terasosiasi dengan Temasek Holdings maupun pembeli lain dalam bentuk apapun.

Ketujuh, menghukum Temasek Holdings, Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holdings Company Pte. Ltd., Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communications Ltd., Indonesia Communications Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Pte. Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd masing-masing membayar denda sebesar Rp. 25 miliar rupiah yang harus disetor ke Kas Negara.

Kedelapan, memerintahkan PT. Telkomsel untuk menghentikan praktik pengenaan tarif tinggi dan menurunkan tarif layanan selular sekurang-kurangnya sebesar 15 % (lima belas persen) dari tarif yang berlaku pada tanggal dibacakannya putusan ini. Kesembilan, menghukum PT. Telkomsel membayar denda sebesar Rp. 25 miliar yang harus disetor ke Kas Negara.

Dengan demikian berdasarkan pada salah diktum putusan KPPU dimaksud, dinyatakan bahwa Temasek Holdings telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 27 huruf (a) UU No. 5 Tahun 1999. Pasal dimaksud menentukan adanya larangan bagi pelaku usaha untuk memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar yang bersangkutan, ataupun mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang sama, apabila:[6] (a) kepemilikan itu mengakibatkan terjadinya dominasi pasar, yaitu penguasaan lebih dari 50 % (untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa, atau (b) penguasaan lebih dari 75 % pangsa pasar untuk dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha.

2. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Temasek Holdings

Menyikapi putusan KPPU tersebut di atas, Temasek Holdings membantah bahwa dirinya telah melanggar Undang-Undang (UU) anti-monopoli Indonesia, sehingga akan memperkarakan putusan yang dibuat oleh KPPU.[7] Menurut UU No. 5 Tahun 1999, Temasek Holdings memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas putusan KPPU dimakud ke Pengadilan Neger Jakarta dalam waktu 14 hari sejak penerimaan pemberitahuan petikan putusan. Apabila keberatan tidak diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan petikan putusan KPPU tersebut, maka pihak Temasek Holdings dianggap menerima putusan tersebut dan putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van rechtgewijksde).[8]

Ada beberapa alasan atau pertimbangan yang diprediksi akan digunakan oleh Temasek Holdings dalam pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri (Jakarta). Pertama, Temasek Holdings akan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan praktik monopoli berupa kepemilikan silang. Anak perusahaan Temasek Holdings yaitu STT dan Sing Tel secara langsung bukan merupakan pemegang saham mayoritas, baik itu di PT. Indosat Tbk maupun PT. Telkomsel, sehingga tidak mempunyai peran signifikan dalam pengambilan keputusan dan kegiatan operasionalnya. Kedua, Temasek Holdings tidak terbukti melakukan/terlibat dalam kepemimpinan ataupun penentuan tarif telepon seluler dan Temasek Holdings tidak pernah mengontrol PT. Telkomsel dalam penentuan tarif, karena pemegang saham mayoritas masih berada pada PT. Telkom Tbk, yakni sebesar 65 %. Ketiga, berdasarkan perhitungan dari Michael Kende (Analis Consulting Limited di Washington), tarif seluler di Indonesia masih jauh lebih rendah dari negara lain di kawasan Asia Tenggara. Keempat, pasar industri telepon seluler di Indonesia masih sangat kompetitif dan tidak terdapat permainan tarif, konsumen pun tidak merasa dirugikan. Pemerintah Indonesia dalam penentuan tarif telepon seluler juga berperan, karena memiliki saham di PT. Telkomsel dan PT. Indosat, Tbk. Kelima, tidak ada dalil yang menunjukkan adanya pelambatan dalam pembangunan jaringan BTS, sehingga Temasek Holdings tetap akan mempertahankan PT. Indosat dan tidak akan menjualnya. Keenam, pada saat divestasi PT. Indosat Tbk. tahun 2002, Pemerintah Indonesia sudah mengkonsultasikannya dengan KPPU dan KPPU sendiri tidak keberatan atas proses divestasi PT. Indosat Tbk. Ketujuh, putusan KPPU dinilai Temasek Holdings sebagai putusan yang tidak adil dan bahkan dapat merusak kepastian hukum yang diberikan melalui transaksi divestasi secara terbuka. Kedelapan, putusan KPPU kurang berdasar, karena PT. Telkomsel dan PT. Indosat Tbk. telah menguasai pasar secara signifikan sebelum terjadinya kepemilikan silang Temasek Holdings melalui dua anak perusahaannya (STT dan Sing Tel).[9]

Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang berkaitan dengan Kelompok Usaha Temasek dan Praktek Monopoli Telkomsel (Perkara No. 07/KPPU-L/2007) telah diajukan keberatannya oleh 9 (sembilan) terlapor sebagaimana dimaksud di atas. Keberatan ini terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tercatat dalam satu register yang sama dengan No.: 02/KPPU/2007/PN.JKT.PST. Relaas panggilan sidang tertanggal 7 Januari 2008 menyebutkan bahwa sidang untuk perkara tersebut dijadwalkan pada hari Senin, tanggal 14 Januari 2008 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[10]

Di samping itu masih terdapat 1 (satu) terlapor, yaitu PT. Telkomsel yang mengajukan keberatannnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang relaas panggilan sidangnya baru diterima pada hari Senin, tanggal 14 Januari 2008. Sementara itu jadwal sidang direncanakan tanggal 7 April 2008.[11]

Sesuai dengan PERMA No. 3 Tahun 2005, apabila terdapat pengajuan keberatan atas putusan KPPU yang sama namun diajukan di pengadilan negeri yang berbeda, maka KPPU dapat mengajukan permohonan penggabungan perkara kepada Ketua Mahkamah Agung. Hal ini telah diajukan melalui surat No. 11/K/I/2008 tanggal 9 Januari 2008 yang ditujukan kepada Mahkamah Agung, yang ditembuskan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Masih menurut ketentuan PERMA No. 3 Tahun 2005, maka pengadilan negeri-pengadilan negeri yang menerima tembusan surat permohonan KPPU tersebut harus menghentikan pemeriksaan dan menunggu penetapan Ketua MA mengenai hal ini.[12]

Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari akan menetapkan pengadilan negeri mana yang akan memeriksa dan memutus keberatan-keberatan yang diajukan terhadap Putusan KPPU. Pengadilan Negeri yang tidak ditunjuk oleh Mahkamah Agung dalam waktu 7 hari setelah menerima penetapan Mahkamah Agung tersebut harus mengirimkan berkas perkara serta sisa biaya perkara ke Pengadilan Negeri lain yang ditunjuk.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis dan pembahasan di atas, maka Penulis dapat menyimpulkan antara lain sebagai berikut:

1) Berdasarkan analisis terhadap putusan KPPU, Temasek Holdings telah tebukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketetuan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 27 (a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sehingga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan tidak sehat di bidang telekomunikasi seluler.

2) Terhadap keputusan KPPU dimaksud berdasarkan Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha (Temasek Holdings) dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

2. Saran

Pengadilan Negeri hendaknya dapat menjatuhkan putusannya secara obyektif, profesional serta tetap berlandaskan pada koridor hukum persaingan usaha di Indonesia. Hal ini ditujukan agar investor asing yang sudah masuk atau yang akan masuk ke Indonesia tidak khawatir dalam menanamkan modalnya karena bagi mereka ada jaminan dapat memperoleh keadilan dan kepastian hukum di bidang persaingan usaha.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007, “Temasek Bantah Langgar UU Anti-Monopoli di Indonesia”, Artikel Antara 20 September 2007, http://www.antara.co.id/arc/2007/11/20/temasek-bantah-langgar-uu-anti-monopoli-di-indonesia/, tanggal akses 3 Februari 2008.

Ibrahim, Johnny, 2007, “Pelajaran Dari Kasus Temasek Holdings”, Artikel pada Surya Online, http://www.surya.co.id/web, tanggal akses 23 April 2008.

Kagramanto, L. Budi, 2008, “Kepemilikan Silang Saham PT. Indosat dan PT Telkomsel oleh Temasek Holding Company”, Artikel pada Mimbar Hukum FH UGM Volume 20, Nomor 1, Februari 2008.

Raharjo, Agus, 2001, “Praktik Monopoli dan Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2/ 2001, hal. 41-46, http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/praktek-monopoli.htm, tanggal akses 27 April 2008.

Usman, Rachmadi, 2004, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 1999, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Lampiran:

Diktum Putusan KPPU

1. Menyatakan bahwa Temasek Holdings, Pte. Ltd. bersama-sama dengan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999;

2. Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No 5 Tahun 1999;

3. Menyatakan bahwa PT. Telekomunikasi Selular tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999;

4. Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk menghentikan tindakan kepemilikan saham di PT. Telekomunikasi Selular dan PT.Indosat, Tbk. dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya di salah satu perusahaan yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk. dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap;

5. Memerintahkan kepada Temasek Holdings, Pte. Ltd., bersama-sama Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd untuk memutuskan perusahaan yang akan dilepas kepemilikan sahamnya serta melepaskan hak suara dan hak untuk mengangkat direksi dan komisaris pada salah satu perusahaan yang akan dilepas yaitu PT. Telekomunikasi Selular atau PT.Indosat, Tbk. sampai dengan dilepasnya saham secara keseluruhan sebagaimana diperintahkan pada diktum no. 4 di atas;

6. Pelepasan kepemilikan saham sebagaimana dimaksud pada diktum no.4 di atas dilakukan dengan syarat sebagai berikut:

a. untuk masing-masing pembeli dibatasi maksimal 5% dari total saham yang dilepas;

b. pembeli tidak boleh terasosiasi dengan Temasek Holdings, Pte. Ltd. maupun pembeli lain dalam bentuk apa pun;

7. Menghukum Temasek Holdings, Pte. Ltd., Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd., STT Communications Ltd., Asia Mobile Holding Company Pte. Ltd, Asia Mobile Holdings Pte. Ltd., Indonesia Communication Limited, Indonesia Communication Pte. Ltd., Singapore Telecommunications Ltd., dan Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd masing-masing membayar denda sebesar Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

8. Memerintahkan PT. Telekomunikasi Selular untuk menghentikan praktek pengenaan tarif tinggi dan menurunkan tarif layanan selular sekurangkurangnya sebesar 15% (lima belas persen) dari tarif yang berlaku pada tangga ldibacakannya putusan ini;

9. Menghukum PT. Telekomunikasi Selular membayar denda sebesar Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423491 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).



[1] Agus Raharjo, 2001, “Praktik Monopoli dan Tanggung Jawab Sosial Korporasi”, Dimuat di Jurnal Kosmik Hukum Univ. Muhammadiyah Purwokerto Vol. 1 No. 2 Tahun 2001, hal. 41-46, http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/praktek-monopoli.htm, tanggal akses 27 April 2008.

[2] Rachmadi Usman, 2004, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal 1.

[3] Pasal 3 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[4] L. Budi Kagramanto, 2008, “Kepemilikan Silang Saham PT. Indosat dan PT Telkomsel oleh Temasek Holding Company”, Artikel pada Mimbar Hukum FH UGM Volume 20, Nomor 1, Februari 2008, hal 1.

[5] Johnny Ibrahim, 2007, “Pelajaran Dari Kasus Temasek Holdings”, Artikel pada Surya Online, http://www.surya.co.id/web, tanggal akses 23 April 2008.

[6] Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal 38-39.

[7] Anonim, 2007, Temasek Bantah Langgar UU Anti-Monopoli di Indonesia, Artikel antara 20 September 2007, http://www.antara.co.id/arc/2007/11/20/temasek-bantah-langgar-uu-anti-monopoli-di-indonesia/, tanggal akses 3 Februari 2008.

[8] Lihat Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 46 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999.

[9] L. Budi Kagramanto, Op. Cit, hal 11.

[10] Anonim, 2007, Perkembangan Sidang Keberatan terhadap Keputusan KPPU tentang Temasek, http://hukumonline.com/detail.asp?id=18017&cl=Aktual, tanggal akses 25 April 2008.

[11] Ibid.

[12] Ibid.