Kamis, 14 Agustus 2008

ARTIKEL

ASPEK HUKUM KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perbankan Syariah sebagaimana halnya perbankan pada umumnya merupakan lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yakni lembaga yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat lain yang membutuhkan dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Sebagai lembaga keuangan bank merupakan institusi yang sarat dengan pengaturan sehingga dikatakan bahwa perbankan merupakan the most heavy regulated industry in the world. Adanya merupakan suatu keniscayaan mengingat bank merupakan lembaga yang eksistensinya sangat membutuhkan adanya kepercayaan masyarakat (fiduciary relation).[1]

Sistem perbankan konvensional yang telah ada sebelumnya menjadi semakin lengkap dengan diintrodusirnya sistem perbankan syariah sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan semua elemen masyarakat akan jasa perbankan tanpa perlu “ragu” lagi mengenai boleh/tidaknya memakai jasa perbankan terutama jika ditinjau dari kaca mata agama. Bahwa yang menjadi kritik sistem perbankan syariah terhadap perbankan konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), akan tetapi karena di dalam operasionalnya terdapat unsur-unsur yang dilarang, berupa unsur perjudian (maisyir), unsur ketidakpastian/keraguan (gharar), unsur bunga (interest/riba), dan unsur kebathilan.[2]

Dalam kegiatan operasionalnya perbankan harus melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan bank, antara lain prinsip kepercayaan (fiduciary principle). Unsur kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merupakan suatu hal yang sangat esensial, sehingga bank perlu menjaganya untuk mencegah adanya rush atau penarikan dana masyarakat secara besar-besaran seperti halnya yang terjadi pada saat krisis moneter 1997 lalu. Pada waktu itu banyak bank yang kolaps, sehingga pemerintah terpaksa melakukan proses likuidasi terhadap sejumlah bank yang bermasalah. Sementara itu bank syariah yang ada pada waktu itu yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI) terbukti mampu bertahan dan termasuk bank dengan kategori sehat.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diharapkan mampu menata kembali sektor perbankan yang mengalami goncangan akibat krisis dan lebih penting lagi diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan di negeri ini. Kaitannya dengan Perbankan Syariah undang-undang ini lebih memberikan angin segar bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, karena undang-undang inilah yang secara tegas membedakan bank berdasarkan prinsip operasionalnya menjadi dua yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan Prinsip Syariah. Adanya bank syariah di samping bank konvensional menandakan dimulainya era baru dalam sistem hukum perbankan nasional, yakni era sistem perbankan ganda (dual bangking system).

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa:

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Dengan melihat pada definisi ini, maka tersimpul bahwa di samping adanya ketentuan yang membolehkan pembentukan bank syariah murni, juga diperbolehkannya bank umum konvensional memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window. Untuk dapat memberikan layanan syariah ini terlebih dahulu bank konvensional dimaksud harus mendirikan sebuah Unit Usaha Syariah (UUS) terlebih dahulu. Sementara itu, untuk Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat memberikan layanan secara konvensional atau secara syariah, tidak boleh dua-duanya atau dengan kata lain menganut single window. Hal ini terlihat pada pengertian Bank Perkreditan Rakyat yang tertuang dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni:

“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, secara hukum terdapat peluang yang besar bagi pengembangan sektor perbankan syariah di Indonesia, dimana Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan juga telah mengeluarkan produk hukum yang secara khusus mengatur operasional Perbankan Syariah. Adapun produk hukum dimaksud yakni berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan lebih teknis lagi berupa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), antara lain yaitu PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI ini pada tanggal 17 Desember 2007 sudah dicabut dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara hukum semakin mantap dengan telah disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi undang-undang pada tanggal 17 Juni 2008. UU Perbankan Syariah ini antara lain mengatur mengenai kelembagaan dan produk perbankan syariah. Berdasarkan pada hal-hal tersebut dan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah hukum perbankan Penulis membuat Paper dengan judul Aspek Hukum Kebijakan Pengembangan Kelembagaan dan Produk Perbankan Syariah di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas masalah teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan pengembangan kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia ditinjau dari peraturan perundang-undangan?

2. Bagaimana kebijakan pengembangan produk Perbankan Syariah di Indonesia ditinjau dari peraturan perundang-undangan?

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. Pengembangan Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia

Bank secara kelembagaan hanya dapat dilaksanakan oleh badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi. Apabila lembaga yang dipilih adalah badan hukum PT, maka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berlaku baginya, sedangkan dalam hal yang dipilih adalah Koperasi maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang berlaku. Namun demikian dalam pendirian lembaga perbankan saat ini lebih memilih berbentuk PT mengingat PT lah suatu lembaga hukum yang pengaturannya komprehensif dan asas-asas yang terkandung di dalamnya lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (stakes holder).

Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi. Akan tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Oleh karena itu biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.[3]

Eksistensi Dewan Pengawas Syariah sebagai bagian dari fungsi pengawasan, semakin diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini tertuang dalam Pasal 109 yang intinya menyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah dimaksud terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dan bertugas memberikan nasihat, serta saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.

Adapun kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah secara kelembagaan dapat dilakukan melalui empat institusi yaitu:

1) Bank Umum Syariah

Bank Umum Syariah adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukum yang diperkenankan adalah Perseroan Terbatas/PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI No. 6/24/PBI/2004[4]); dengan modal disetor sekurang-kurangnya satu trilyun rupiah (Pasal 4 PBI No. 7/35/PBI/2005[5])

2) Bank Perkreditan Rakyat Syariah

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bentuk hukumnya dapat berupa: Perseroan Terbatas/PT, Koperasi atau Perusahaan Daerah (Pasal 2 PBI No. 6/17/PBI/2004[6]). Modal disetor BPRS ditetapkan sebagai berikut:

Rp 2 milyar

Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi

Rp 1 milyar

Wilayah ibukota propinsi di luar Wilayah DKI Jakarta, Kab/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi

Rp 500 juta

Wilayah lain

Adapun kegiatan usaha dari BPRS intinya hampir sama dengan kegiatan dari Bank Umum Syariah, yaitu berupa penghimpunan dana, penyaluran dana, dan kegiatan disektor jasa. Yang membedakannya adalah bahwa BPRS tidak diperkenankan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, misalnya ikut dalam kegiatan kliring dan inkaso.

3) Islamic Windows

Perubahan Pasal 6 huruf m oleh UU No. 10 Tahun 1998 terhadap UU No. 7 Tahun 1992 menjadi jendela bagi pembukaan kantor bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah oleh Bank Umum Konvensional. Ketentuan terbaru, yakni Pasal 13 (1) PBI No. 8/3/PBI/2006[7] menetapkan pembukaan tersebut bisa dilakukan dengan cara:

1. Membuka Kantor Cabang Syariah yang baru;

2. Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;

3. Meningkatkan status Kantor di bawah Kantor Cabang menjadi Kantor Cabang Syariah;

4. Mengubah kegiatan usaha Kantor Cabang yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah[8] menjadi Kantor Cabang Syariah;

5. Meningkatkan status Kantor Cabang Pembantu yang sebelumnya telah membuka Unit Syariah menjadi Kantor Cabang Syariah; dan/atau

6. Membuka Kantor Cabang Syariah baru yang berasal dari Unit Syariah dari Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu, di lokasi yang sama atau di luar lokasi Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu dimana Unit Syariah sebelumnya berada.

Adapun syarat-syarat pembukaan Islamic Windows dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 14-16 PBI No. 8/3/PBI/2006 yakni:

1. Menyisihkan modal kerja untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah minimum untuk mengcover biaya operasional awal, antara lain: biaya sewa gedung, gaji karyawan, dan overhead cost;

2. Memenuhi rasio Kewajiban Modal Minimum bagi Unit Usaha Syariah[9];

3. Memiliki pencatatan dan pembukuan tersendiri untuk Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;

4. Menyusun laporan keuangan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah;

5. Memasukkan laporan keuangan di atas dalam laporan keuangan gabungan;

6. Wajib mencantumkan kata “Syariah” pada setiap penulisan nama kantornya.

4) Office Channelling

Office Channelling merupakan istilah yang diberikan guna menandai dimungkinkannya melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah di Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu Bank Umum Konvensional. Sebelumnya berdasarkan prinsip Islamic Windows versi PBI No. 4/1/PBI/2002[10], praktik demikian tidak dimungkinkan.

Praktik perbankan syariah sebenarnya tidak diperkenankan dilakukan bersama-sama dalam satu kantor yang berpraktik secara konvensional. Akan tetapi berdasarkan Pasal 38 (2) PBI No. 8/3/PBI/2006 memberi kesempatan Layanan Syariah dibuka:

1. Dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya;

2. Dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan/atau Kantor Cabang Pembantu; dan

3. Dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri bank konvensional yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah.

Pada tahun 2008 ini juga muncul trend baru pembentukan bank syariah yakni melalui mekanisme akuisisi dan konversi bank konvensional menjadi bank syariah. Adapun implementasinya dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Pertama, bank umum konvensional yang telah memiliki UUS mengakuisisi bank yang relatif kecil kemudian mengkonversinya menjadi syariah dan melepaskan serta menggabungkan UUS-nya dengan bank yang baru dikonversi tersebut. Kedua, bank umum konvensional yang belum memiliki UUS, mengakuisisi bank yang relatif kecil dan mengkonversinya menjadi syariah. Ketiga, adalah dengan melakukan spin-off (pelepasan) UUS dan dijadikan Bank Umum Syariah tersendiri.[11]

Dengan demikian UUS dapat ditingkatkan statusnya menjadi Bank Umum Syariah setelah memenuhi persyaratan tertentu. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam RUU Perbankan Syariah yang telah disahkan, yakni pada Pasal 16 yang intinya menyatakan bahwa UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. Izin sebagaimana dimaksud lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Bank Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas nampak bahwa kebijakan pengembangan bank syariah secara kelembagaan mendukung kearah sistem perbankan syariah yang semakin kokoh. Trend yang muncul berupa peningkatan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan/atau tanpa digabung dengan bank syariah yang merupakan konversi dari bank konvensional yang diakuisisi akan semakin menjadikan bank syariah menjadi bank yang kokoh secara permodalan dan manajerial.

2. Pengembangan Produk Perbankan Syariah di Indonesia

Perbankan syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya pada tahap awal berpedoman pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa dimaksud antara lain Fatwa DSN No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Fatwa DSN No. 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, Fatwa DSN No. 3/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito, ketiganya merupakan fatwa dalam produk penghimpunan dana. Sementara untuk produk penyaluran dana juga terdapat fatwa yang dapat dijadikan pedoman, antara lain Fatwa DSN No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan seterusnya.[12]

Melihat minat masyarakat yang semakin meningkat serta didorong oleh adanya perkembangan yang terjadi di negara lain, Bank Indonesia juga mengeluarkan regulasi berupa PBI dan SEBI antara lain PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI dimaksud pada tahun 2007 dicabut dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Mengenai produk perbankan ini tertuang dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 PBI No. 9/19/PBI/2007 yang secara lengkap sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah.

(2) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan objek haram.

Pasal 3

Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan sebagai berikut :

a. dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain Akad Wadi’ah dan Mudharabah;

b. dalam kegiatan penyaluran dana berupa Pembiayaan dengan mempergunakan antara lain Akad Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bitamlik dan Qardh; dan

c. dalam kegiatan pelayanan jasa dengan mempergunakan antara lain Akad Kafalah, Hawalah dan Sharf.

Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, produk perbankan syariah dapat kita klasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu produk penghimpunan dana, produk penyaluran dana, dan produk di bidang jasa. Penjelasan mengenai ketiga produk tersebut secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Produk Penghimpunan Dana

Sama halnya dengan produk pada perbankan konvensional, produk perbankan syariah di bidang penghimpunan dana ini disebut sebagai simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro[13], deposito[14], sertifikat deposito[15], tabungan[16] dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Implementasi prinsip syariah dalam produk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan adalah sebagai berikut:[17]

a. Giro. Produk giro dapat menggunakan akad wadiah maupun akad mudharabah. Giro yang menggunakan akad wadiah di dalamnya, maka pihak bank selaku penerima titipan dana dapat menggunakan dana titipan tersebut (yang dipakai akad wadiah ad-dhamanah), sehingga biasanya bank akan memberikan imbalan kepada nasabah penyimpan sejumlah bonus yang besarnya sesuai dengan kebijakan bank dan tidak diperjanjikan di awal. Sedangkan dalam hal bank menggunakan akad mudharabah dalam operasionalnya maka di dalamya terdapat penentuan nisbah bagi hasil antara bank dan nasabah di awal perjanjian. Pada giro wadiah nasabah terhindar dari risiko kehilangan/berkurangnya dana yang disimpan (jadi lebih safety), sedangkan pada giro mudharabah nasabah menanggung risiko berkurangnya dana yang disimpan dan sekaligus peluang untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan mendapatkan kompensasi berupa bagi hasil yang besarnya sesuai dengan nisbah sebagaimana telah diperjanjikan di awal.

b. Tabungan. Seperti pada giro, maka dalam produk tabungan ini nasabah dapat memilih untuk menggunakan akad wadiah atau mudharabah. Keuntungan maupun risiko yang ada sama halnya dengan pada giro, sedangkan perbedaannya terletak pada mekanisme pengambilan dana yang disimpan oleh nasabah.

c. Deposito. Produk deposito karena memang ditujukan sebagai sarana investasi, maka dalam praktik perbankan syariah hanya digunakan akad mudharabah. Melalui akad mudharabah ini pada awal perjanjian sudah ditentukan berapa nisbah bagi hasil baik bagi pihak nasabah maupun bagi pihak bank syariah sendiri.

Secara teknis operasional Giro, Tabungan, dan Deposito bagi bank syariah mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 yang merupakan peraturan teknis dari PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Substansi SEBI dimaksud secara lengkap adalah sebagai berikut:

Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro dan Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:[18]

a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai penitip dana;

b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

c. Bank tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah;

d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atau Tabungan atas dasar Akad Wadi’ah, dalam bentuk perjanjian tertulis;

e. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya kartu ATM, buku/cek/bilyet giro, biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening;

f. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah; dan

g. Dana titipan dapat diambil setiap saat oleh nasabah.

Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro atas dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:

a. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan Nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal);

b. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

c. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;

d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Giro atas dasar Akad Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis;

e. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya cek/bilyet giro, biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; dan

f. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah.

Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Tabungan dan Deposito atas dasar Akad Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :

a. Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal);

b. Pengelolaan dana oleh Bank dapat dilakukan sesuai batasanbatasan yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharabah mutlaqah);

c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;

d. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk Tabungan dan Deposito atas dasar Akad Mudharabah, dalam bentuk perjanjian tertulis;

e. Dalam Akad Mudharabah Muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah;

f. Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;

g. Penarikan dana oleh nasabah hanya dapat dilakukan sesuai waktu yang disepakati;

h. Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara lain biaya meterai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening; dan

i. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.

2) Produk Penyaluran Dana

Sebagai lembaga intermediasi, maka bank syariah di samping melakukan kegiatan penghimpunan dana secara langsung kepada masyarakat dalam bentuk simpanan juga akan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan (financing). Instrumen bunga yang ada dalam bentuk kredit digantikan dengan akad-akad tradisional Islam atau yang sering disebut perjanjian berdasarkan prinsip syariah. Penerapan dari akad-akad tradisional Islam ke dalam produk pembiayaan bank adalah sebagai berikut:[19]

a. Pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli ini dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual-beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok (historical cost) ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin/mark up) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli dimana barangnya sudah ada, sedangkan salam dan istishna adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.

b. Pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Jenis pembiayaan ini diberikan kepada nasabah yang ingin mendapatkan manfaat atas suatu barang tertentu tanpa perlu memiliki. Untuk memenuhi kepentingan nasabah dimaksud, maka pihak bank syariah dapat menyewakan barang yang menjadi obyek sewa dan untuk itu pihak bank berhak mendapatkan uang sewa (ujrah) yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Varian dari akad sewa-menyewa ini selain berupa pembiayaan ijarah, maka dimungkinkan pihak nasabah untuk memiliki barang yang disewa diakhir masa sewa dengan penggunaan hak opsi melalui mekanisme hibah maupun mekanisme beli. Yang terakhir ini disebut Pembiayaan Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT).

c. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil ini ditujukan untuk memenuhi kepentingan nasabah akan modal atau tambahan modal untuk melaksanakan suatu usaha yang produktif. Dalam praktik perbankan dikenal dua macam pembiayaan yang didasarkan pada akad bagi hasil, yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan mudharabah pada prinsipnya adalah pembiayaan yang diberikan oleh bank (shahibul maal) kepada nasabah (mudharib) sejumlah modal kerja (100%) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan berupa penanaman dana dari pemilik dana/modal (dalam hal ini bank) untuk mencampurkan dana/modal mereka (nasabah/mudharib) pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.

d. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam-meminjam. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini ditempuh bank dalam keadaan darurat (emergency situation), karena pada prinsipnya melalui pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini bank tidak boleh mengambil keuntungan dari nasabah sedikitpun, kecuali hanya sebatas biaya administrasi yang benar-benar dipergunakan oleh pihak bank dalam proses pembiayaan. Pembiayaan berdasarkan akan pinjam-meminjam dibedakan menjadi dua yaitu pembiayaan qardh dan pembiayaan qardh al hasan.

Sebagai tambahan dapat ditegaskan bahwa dalam produk penyaluran dana bank syariah berupa pembiayaan berlaku prinsip bahwa semua bentuk pembiayaan dapat dimintakan jaminan oleh bank, kecuali pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah secara fikih tidak mengenal adanya jaminan, mengingat pengaturan mengenai risiko bagi bank selaku pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah selaku pengelola dana (mudharib) sudah jelas. Bahwa dalam hal terjadi kegagalan pembiayaan bank menanggung risiko akan kehilangan dana (financial risk), sementara nasabah menanggung risiko tidak mendapatkan keuntungan apa-apa atas jerih payahnya. Hal ini berlaku sepanjang nasabah telah menjalankan fungsi pengelola dana dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan perjanjian, dan penuh iktikad baik. Apabila terbukti nasabah melakukan penyimpangan, maka ia pun dapat dituntut untuk menanggung risiko finasial, bahkan dapat dituntut ganti rugi.

Pada praktik perbankan syariah di Indonesia, jaminan (collateral) atas pembiayaan mudharabah bisa dipastikan merupakan suatu keniscayaan. Argumentasi hukum yang dapat diberikan adalah karena bank adalah lembaga keuangan yang harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential principle), dimana salah satu unsur untuk melaksakan prinsip itu adalah diperlukannya adanya jaminan terhadap kredit/pembiayaan yang diberikan bank. Prudential banking dan kekhawatiran terhadap moral hazard merupakan alasan utama mengapa pada pembiayaan mudharabah juga mensyaratkan adanya jaminan tertentu yang harus disediakan oleh nasabah di samping jaminan utama berupa keyakinan bank bahwa nasabah akan sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

3) Produk Jasa (Fee Based Income Product)

Produk jasa bank merupakan produk yang saat ini terus dikembangkan. Produk ini dikatakan sebagai produk yang berbasis pada fee sebagai kompensasi yang harus diberikan nasabah kepada bank atas penggunaan jasa perbankan tertentu. Akad-akad tradisional Islam yang dapat diimplementasikan dalam produk jasa bank syariah adalah akad wakalah, akad hiwalah, akad kafalah, akan rahn, akad sharf, dan sebagainya. Misalnya penggunaan akad wakalah dalam produk jasa perbankan berupa kliring, inkaso, jasa transfer, dan Letter of Credit (L/C), kemudian akad hiwalah dipakai oleh bank dalam melakukan jasa berupa factoring, dan akad kafalah dipakai oleh bank dalam bentuk fasilitas bank garansi.

Produk perbankan dari sector jasa adalah produk yang dapat dikembangkan secara variatif seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat akan jasa perbankan yang semakin meningkat. Begitu juga dalam praktik perbankan syariah, yang mana pada dasarnya produk jasa ini sangat mungkin untuk dikembangkan secara lebih variatif. Dalam operasional perbankan bank diperkenankan untuk mendesain sebuah produk baru. Beberapa persyaratan harus dipenuhi ketika bank hendak melempar produk baru kepada masyarakat. Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 38 PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang BankUmum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 7/35/PBI/2005.[20]

Adapun produk dan jasa baru yang harus dimintakan persetujuan kepada Bank Indonesia adalah:[21]

a. Produk dan jasa baru yang belum ada izin usaha bank diberikan oleh Bank Indonesia.

b. Produk dan jasa baru yang sudah ada sebelumnya di Bank Syariah lain namun terdapat perbedaan karakteristik terhadap produk yang sudah ada.

c. Produk dan jasa baru yang merupakan turunan dari produk dan jasa yang sudah ada.

Pengajuan produk dan jasa oleh Bank Kepada Bank Indonesia harus disertai dengan dokumen sebagai berikut:[22]

a. Foto kopi surat kepada Dewan Syariah Nasional tentang permohonan fatwa dan produk jasa baru;

b. Opini syariah dari Dewan Pengawas Syariah Bank terhadap produk dan jasa baru;

c. Penjelasan tentang rancangan produk dan jasa baru yang menguraikan karakteristik, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang berkewenangan, infrastruktur yang diperlukan dan analisis risiko produk dan jasa tersebut;

d. Draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan; dan

e. Informasi dan atau dokumen lainnya yang dinilai relevan dan berguna untuk menilai manfaat serta risiko produk dan jasa tersebut.

Setelah memenuhi persyaratan tersebut bank harus melakukan presentasi kepada Bank Indonesia dalam rangka mendapatkan izin atas produk dan jasa baru yang dikeluarkan. Setelah mendapat izin dari Bank Indonsia sebagai pemegang otoritas perbankan, maka produk tersebut dapat dilempar kepada masyarakat.

Sebagai tambahan dalam rangka memenuhi tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia memiliki tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dan dalam rangka mendukung tugas dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah melalui operasi pasar terbuka, maka Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah.

Pasal 1 angka (4) PBI Nomor 10/11/PBI/2008 memberikan definisi Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disebut SBIS sebagai surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pasal 2-nya menegaskan bahwa SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. Adapun akad yang dipakai dalam rangka penerbitan SBIS adalah akad Ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan.[23]

Berdasarkan pada pemaparan singkat di atas dapat ditegaskan bahwa kebijakan pengembangan produk perbankan syariah pada awalnya mengacu pada fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Substansi dari fatwa dimaksud untuk kemudian menjadi materi dari Peraturan Bank Indonesia, sehingga sudah merupakan hukum positif. Adanya pengesahan RUU Perbankan Syariah juga memerlukan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Bank Indonesia. Untuk itu menurut pendapat Penulis regulasi tentang operasional perbankan syariah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia sudah cukup memadai dan belum diperlukan penetapan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam untuk memperkokoh dasar hukum perjanjian-perjanjian bank syariah.

Sementara prospek perkembangan piranti pasar modal seperti halnya obligasi syariah yang diterbitkan oleh bank syariah dan Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan pemerintah menurut hemat Penulis akan semakin meningkat. Hal ini didukung oleh diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dalam rangka meningkatkan minat masyarakat yang terpenting adalah perlunya sosialisasi mengenai instrumen-instrumen keuangan dimaksud. Produk perbankan syariah yang beraneka ragam perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat menjadi paham dan mampu memanfaatkan produk-produk dimaksud untuk memenuhi kebutuhannya akan jasa perbankan yang sesuai.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis dan pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a.Kebijakan pengembangan kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia mendukung kearah sistem perbankan syariah yang semakin kokoh. Trend yang muncul berupa peningkatan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan atau tanpa digabung dengan bank syariah yang merupakan konversi dari bank konvensional yang diakuisisi semakin menjadikan bank syariah kokoh secara permodalan dan manajerial.

b. Kebijakan pengembangan produk perbankan syariah sebagaimana yang telah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 sudah cukup memadahi.

2. Saran

Berdasarkan pada kesimpulan tersebut ada beberapa saran yang dapat Penulis berikan, yaitu sebagai berikut:

a. Adanya peningkatan UUS menjadi Bank Umum Syariah melalui mekanisme pemisahan (spin-off) dengan atau tanpa digabung dengan bank syariah yang merupakan konversi dari bank konvensional yang diakuisisi, dimana hal ini dikenal dalam RUU Perbankan Syariah dan UU Perseroan Terbatas perlu segera mendapatkan pengaturan teknisnya.

b. Produk perbankan syariah yang beranekaragam yang telah mendapatkan pengaturan melalui Peraturan Bank Indonesia perlu disosialisasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat akan paham terhadap produk-produk dimaksud. Hal ini juga sebagai sarana melaksanakan salah satu pilar bank syariah yaitu perlunya edukasi kepadamasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

-----------------------------, 2007, Payung Hukum Perbankan Syariah (UU Di Bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia), Yogyakarta: UII Press

-----------------------------, 2008, Perkembangan Hukum, Kelembagaan, dan Operasional Perbankan Syariah di Indonesia, Makalah pada Kuliah Perdana Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan FH UGM, Ruang Multimedia Fakultas Hukum UGM, Sabtu, 14 Juni 2008.

Antonio, Muhammad Syafii, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press.

Karim, Adiwarman A., 2008, Perbankan Syariah 2008: Evaluasi, Trend, dan Proyeksi, Research & Project Management Division Head, KARIM Business Consulting

Umam, Khotibul, 2007, Implementasi Prinsip Good Corporate Governance Sebagai Upaya Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah, www.sharialearn.com, tanggal Akses 21 Juli 2008.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah & Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah.



[1] Khotibul Umam, 2007, Implementasi Prinsip Good Corporate Governance Sebagai Upaya Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Perbankan Syariah, www.sharialearn.com, tanggal Akses 21 Juli 2008.

[2] Abdul Ghofur Anshori, 2008, Perkembangan Hukum, Kelembagaan, dan Operasional Perbankan Syariah di Indonesia, Makalah pada Kuliah Perdana Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan FH UGM, Ruang Multimedia Fakultas Hukum UGM, Sabtu, 14 Juni 2008.

[3] Muhammad Syafii Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hal 30-31.

[4] PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

[5] PBI 7/35/PBI/2005: Perubahan Atas PBI 6/24/PBI/2004

[6] PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

[7] PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah & Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

[8] Satuan kerja khusus yang menginduk kepada UUS, yang kegiatan usahanya melakukan penghimpunan dana, penyaluran dana & pemberian jasa perbankan lainnya Berdasarkan Prinsip Syariah pada Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank, dalam rangka persiapan menjadi Kantor Cabang Syariah.

[9] Unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan/atau Unit Syariah.

[10] PBI 4/1/PBI/2002: Bank Umum Konvensional Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

[11] Adiwarman A. Karim, 2008, Perbankan Syariah 2008: Evaluasi, Trend, dan Proyeksi, Research & Project Management Division Head, KARIM Business Consulting.

[12] Abdul Ghofur Anshori, 2007, Payung Hukum Perbankan Syariah (UU Di Bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia), Yogyakarta: UII Press, hal iv.

[13] Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.

[14] Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.

[15] Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.

[16] Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

[17] Abdul Ghofur Anshori, Perkembangan Hukum…., Op cit, hal 8-9.

[18] Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret 2008.

[19] Abdul Ghofur Anshori, Op. cit, hal 9-10.

[20] Abdul Ghofur Anshori, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 165-166.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] Lihat Penjelasan Pasal 3 PBI No. 10/11/PBI/2008.

Tidak ada komentar: