Sabtu, 13 Desember 2008

Islamic Finance Training


KAJIAN HUKUM DAN PRAKTIK LEMBAGA KEUANGAN DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DI INDONESIA[1]

Oleh:

Khotibul Umam[2]

Penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran sebagian besar umat Islam untuk melaksanakan Islam secara kaffah. Adapun keberatan Islam terhadap lembaga keuangan konvensional bukan dalam hal fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary) atau fungsi lainnya, melainkan karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang dilarang, yakni unsur perjudian (maysir), ketidakpastian (gharar), bunga (riba), suap-menyuap (ryswah), dan bathil.

Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal dalam rangka memberikan solusi mengenai hal dimaksud, menawarkan jalan keluar berupa penggunaan akad-akad tradisional Islam dalam operasional lembaga keuangan atau lembaga pembiayaan. Realitas empiris menunjukkan bahwa penerapan akad-akad dimaksud atau yang lebih dikenal dengan penerapan prinsip syariah mendasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Materi muatan fatwa masuk dalam hukum positif berupa Undang-Undang, kemudian secara teknis masuk dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Ketua Bapepam-LK yang secara legal formal menjadi dasar hukum bagi praktik lembaga-lembaga dimaksud.

Berdasarkan pada beberapa hal tersebut: bagaimana hukum positif mengatur praktik lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan dan pengaruhnya bagi praktik bisnis syariah akan menjadi bahasan dalam makalah ini.

Regulasi Lembaga Keuangan dan Lembaga Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

Lembaga Keuangan dibedakan menjadi dua macam, yakni:Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). LKB terdiri dari Bank Sentral, Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, sedangkan LKBB terdiri dari Asuransi, Dana Pensiun, Reksa Dana, Pegadaian, dan Pasar Modal. Selain itu Indonesia juga mengenal Lembaga Pembiayaan berupa Modal Ventura dan Perdagangan Surat Berharga, serta Perusahaan Pembiayaan berupa Sewa Guna Usaha (Leasing), Anjak Piutang (Factoring), Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance), dan Kartu Kredit (Credit Card).

1. Perbankan Syariah

Penerapan prinsip syariah dalam kegiatan dari lembaga-lembaga dimaksud awalnya dilaksanakan di sektor perbankan yang ditandai dengan berdirinya Bank Mumalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, sebagai bank umum pertama kali yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Introduksi bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam hukum positif adalah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

Penerapan prinsip syariah dalam perbankan semakin dipertegas dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini mempertegas, bahwa bank berdasarkan pengelolaanya terdiri dari bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, UU No. 10/1998 menganut sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu suatu sistem yang memperbolehkan bank umum konvensional memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).

Pemberian layanan syariah juga semakin dipermudah dengan diintrodusirnya konsep office chaneling, yakni semacam counter layanan syariah yang tedapat di Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu Bank Konvensional yang sudah memiliki UUS. Hal demikian dapat kita temukan dalam PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

Produk bank syariah terdiri dari produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (lending), jasa (services), dan produk di bidang sosial. Di era UU No. 10/1998 secara teknis mengenai produk mengacu pada PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian sudah diganti dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Perkembangan berikutnya adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang ini mengatur secara khusus mengenai perbankan syariah, baik secara kelembagaan maupun kegiatan usaha. Beberapa lembaga hukum baru diperkenalkan dalam UU No. 21/2008, antara lain yakni menyangkut pemisahan (spin-off) UUS baik secara sukarela maupun wajib dan Komite Perbankan Syariah.

Produk perbankan syariah sebagaimana tersebut di atas secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat macam, yakni produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (lending), jasa (services), dan produk di bidang sosial. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Produk Penghimpunan Dana

Sama halnya dengan produk pada perbankan konvensional, produk perbankan syariah di bidang penghimpunan dana ini disebut sebagai simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro[3], deposito[4], sertifikat deposito[5], tabungan[6] dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Implementasi prinsip syariah dalam produk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan adalah sebagai berikut:

a. Giro. Produk giro dapat menggunakan akad wadiah maupun akad mudharabah. Giro yang menggunakan akad wadiah di dalamnya, maka pihak bank selaku penerima titipan dana dapat menggunakan dana titipan tersebut (yang dipakai akad wadiah ad-dhamanah), sehingga biasanya bank akan memberikan imbalan kepada nasabah penyimpan sejumlah bonus yang besarnya sesuai dengan kebijakan bank dan tidak diperjanjikan di awal. Sedangkan dalam hal bank menggunakan akad mudharabah dalam operasionalnya maka di dalamya terdapat penentuan nisbah bagi hasil antara bank dan nasabah di awal perjanjian. Pada giro wadiah nasabah terhindar dari risiko kehilangan/berkurangnya dana yang disimpan (jadi lebih safety), sedangkan pada giro mudharabah nasabah menanggung risiko berkurangnya dana yang disimpan dan sekaligus peluang untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan mendapatkan kompensasi berupa bagi hasil yang besarnya sesuai dengan nisbah sebagaimana telah diperjanjikan di awal.

b. Deposito. Produk deposito karena memang ditujukan sebagai sarana investasi, maka dalam praktik perbankan syariah hanya digunakan akad mudharabah. Melalui akad mudharabah ini pada awal perjanjian sudah ditentukan berapa nisbah bagi hasil baik bagi pihak nasabah maupun bagi pihak bank syariah sendiri.

c. Tabungan. Seperti pada giro, maka dalam produk tabungan ini nasabah dapat memilih untuk menggunakan akad wadiah atau mudharabah. Keuntungan maupun risiko yang ada sama halnya dengan pada giro, sedangkan perbedaannya terletak pada mekanisme pengambilan dana yang disimpan oleh nasabah.

2) Produk Penyaluran Dana

Sebagai lembaga intermediasi, maka bank syariah di samping melakukan kegiatan penghimpunan dana secara langsung kepada masyarakat dalam bentuk simpanan juga akan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan (financing). Instrumen bunga yang ada dalam bentuk kredit digantikan dengan akad-akad tradisional Islam atau yang sering disebut perjanjian berdasarkan prinsip syariah. Penerapan dari akad-akad tradisional Islam ke dalam produk pembiayaan bank adalah sebagai berikut:

a. Pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli ini dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual-beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok (historical cost) ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin/mark up) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli dimana barangnya sudah ada, sedangkan salam dan istishna adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.

b. Pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Jenis pembiayaan ini diberikan kepada nasabah yang ingin mendapatkan manfaat atas suatu barang tertentu tanpa perlu memiliki. Untuk memenuhi kepentingan nasabah dimaksud, maka pihak bank syariah dapat menyewakan barang yang menjadi obyek sewa dan untuk itu pihak bank berhak mendapatkan uang sewa (ujrah) yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Varian dari akad sewa-menyewa ini selain berupa pembiayaan ijarah, maka dimungkinkan pihak nasabah untuk memiliki barang yang disewa diakhir masa sewa dengan penggunaan hak opsi melalui mekanisme hibah maupun mekanisme beli. Yang terakhir ini disebut Pembiayaan Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT).

c. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil ini ditujukan untuk memenuhi kepentingan nasabah akan modal atau tambahan modal untuk melaksanakan suatu usaha yang produktif. Dalam praktik perbankan dikenal dua macam pembiayaan yang didasarkan pada akad bagi hasil, yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan mudharabah pada prinsipnya adalah pembiayaan yang diberikan oleh bank (shahibul maal) kepada nasabah (mudharib) sejumlah modal kerja (100%) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan berupa penanaman dana dari pemilik dana/modal (dalam hal ini bank) untuk mencampurkan dana/modal mereka (nasabah/mudharib) pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.

d. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam-meminjam. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini ditempuh bank dalam keadaan darurat (emergency situation), karena pada prinsipnya melalui pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini bank tidak boleh mengambil keuntungan dari nasabah sedikitpun, kecuali hanya sebatas biaya administrasi yang benar-benar dipergunakan oleh pihak bank dalam proses pembiayaan. Pembiayaan berdasarkan akan pinjam-meminjam dibedakan menjadi dua yaitu pembiayaan qardh dan pembiayaan qardh al hasan.

Sebagai tambahan dapat ditegaskan bahwa dalam produk penyaluran dana bank syariah berupa pembiayaan berlaku prinsip bahwa semua bentuk pembiayaan dapat dimintakan jaminan oleh bank, kecuali pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah secara fikih tidak mengenal adanya jaminan, mengingat pengaturan mengenai risiko bagi bank selaku pemilik dana (shahibul maal) dan nasabah selaku pengelola dana (mudharib) sudah jelas. Bahwa dalam hal terjadi kegagalan pembiayaan bank menanggung risiko akan kehilangan dana (financial risk), sementara nasabah menanggung risiko tidak mendapatkan keuntungan apa-apa atas jerih payahnya. Hal ini berlaku sepanjang nasabah telah menjalankan fungsi pengelola dana dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan perjanjian, dan penuh iktikad baik. Apabila terbukti nasabah melakukan penyimpangan, maka ia pun dapat dituntut untuk menanggung risiko finasial, bahkan dapat dituntut ganti rugi.

Pada praktik perbankan syariah di Indonesia, jaminan (collateral) atas pembiayaan mudharabah bisa dipastikan merupakan suatu keniscayaan. Argumentasi hukum yang dapat diberikan adalah karena bank adalah lembaga keuangan yang harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudential principle), dimana salah satu unsur untuk melaksakan prinsip itu adalah diperlukannya adanya jaminan terhadap kredit/pembiayaan yang diberikan bank. Prudential banking dan kekhawatiran terhadap moral hazard merupakan alasan utama mengapa pada pembiayaan mudharabah juga mensyaratkan adanya jaminan tertentu yang harus disediakan oleh nasabah di samping jaminan utama berupa keyakinan bank bahwa nasabah akan sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

3) Produk Jasa

Produk jasa bank merupakan produk yang saat ini terus dikembangkan. Produk ini dikatakan sebagai produk yang berbasis pada fee sebagai kompensasi yang harus diberikan nasabah kepada bank atas penggunaan jasa perbankan tertentu. Akad-akad tradisional Islam yang dapat diimplementasikan dalam produk jasa bank syariah adalah akad wakalah, akad hiwalah, akad kafalah, akan rahn, akad sharf, dan sebagainya. Misalnya penggunaan akad wakalah dalam produk jasa perbankan berupa kliring, inkaso, jasa transfer, dan Letter of Credit (L/C), kemudian akad hiwalah dipakai oleh bank dalam melakukan jasa berupa factoring, dan akad kafalah dipakai oleh bank dalam bentuk fasilitas bank garansi.

4) Produk di Bidang Sosial

Bank syariah merupakan institusi yang mengemban fungsi bisnis (tijarah) dan fungsi sosial (tabarru’). Realisasi fungsi bisnis berupa penyediaan produk penghimpunan dana, penyaluran dana, dan produk jasa sebagaimana tersebut di atas. Sedangkan dalam rangka fungsi sosial terelisasi dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat, serta menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

Terdapat sekitar 16 PBI yang diamanahkan oleh UU No. 21/2008. Adapun PBI yang secara khusus merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan telah diundangkan hingga saat ini yaitu:[7]

1. PBI No. 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

2. PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

3. PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah.

4. PBI No. 10/23/PBI/2008 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

5. PBI No. 10/24/PBI/2008 tentang tentang Perubahan Kedua Atas PBI No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

6. PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah.

2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)

Penerapan prinsip syariah dalam LKBB dapat kita lihat pada lembaga asuransi, reksa dana, dan pasar modal. Sementara untuk dana pensiun dan pegadaian pengaturan mengenai penerapan prinsip syariah dalam hukum positif sepanjang pengetahuan penulis belum ada. Untuk itu pada bagian ini secara singkat angkat membahas pada tiga lembaga dimaksud.

Pertama, Asuransi. Asuransi konvensional mendasarkan pada prinsip pengalihan risiko (risk transfering). Hal ini yang membuatnya tidak sesuai dengan prinsip syariah, di mana di dalamya kita jumpai unsur yang dilarang dalam Islam yakni unsur spekulatif (maisyir). Sementara asuransi berdasarkan prinsip syariah menghendaki adanya unsur tolong-menolong (ta’awun antar sesama) dan menghindari unsur spekulatif dimaksud.

Prinsip perjanjian Islam sebagai suatu perjanjian yang bebas dari unsur gharar, maisyir, dan riba dapat diimplementasikan dalam kegiatan usaha suatu perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi. Adapun ketentuan mengenai akad dalam asuransi adalah sebagai berikut:[8]

1. Akad dalam asuransi

a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’.

b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.

c. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:

a) Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;

b) Cara dan waktu pembayaran premi;

c) Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

2. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru’, adalah sebagai berikut:

a. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul maal (pemegang polis).

b. Dalam akad tabarrru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Hukum positif yang mengatur mengenai asuransi adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Pengaturan mengenai asuransi syariah secara tegas baru dijumpai dalam PP No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Seperti halnya di perbankan, PP No. 39/2008 juga memberikan kesempatan bagi Perusahaan Asuransi/Reasuransi Konvensional untuk menyelenggaran layanan syariah dengan terlebih dahulu membentuk UUS di kantor pusatnya.

Kemudian secara lebih teknis operasional perusahaan asuransi/perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi; KMK No. No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Kedua, Reksa Dana dan Pasar Modal. Reksa Dana dan Pasar Modal berdasarkan prinsip syariah selain mendasarkan pada UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, khusus untuk operasionalnya mendasarkan pada Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: 130/BL/2006 Tanggal: 23 Nopember 2006 yang dalam lampirannya memuat Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah dan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-131/BL/2006 Tanggal: 23 Nopember 2006 yang dalam lampirannya memuat Peraturan Nomor IX.A.14 tentang Akad-Akad yang Digunakan Dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal.

3. Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan

Lembaga Pembiayaan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan terdiri dari 6 (enam) hal, yaitu: Sewa Guna Usaha (Leasing), Anjak Piutang (Factoring), Modal Ventura (Venture Capital), Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance), Perdagangan Surat Berharga, dan Kartu Kredit (Credit Card).

Namun dalam perkembangannya, yakni melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, bahwa termasuk dalam pengertian perusahaan pembiayaan meliputi empat bidang, yakni leasing, factoring, consumer finance, dan credit card. Sedangkan dua yakni venture capital dan perdagangan surat berharga masuk dalam pengertian lembaga pembiayaan.

Akad tradisional Islam yang dapat diimplementasikan dalam kegiatan modal ventura yakni akad bagi hasil berupa akad mudharabah dan akad musyarakah. Namun mengingat karakteristik modal ventura yang menghendaki adanya hands-on management dari Perusahaan Modal Ventura terhadap Perusahaan Pasangan Usaha, maka menurut hemat penulis akad musyarakahlah yang paling sesuai. Untuk itu dapat berpedoman pada Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.

Kemudian untuk perusahaan pembiayaan yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumer finance), dan usaha kartu kredit (credit card). Mengenai perusahaan pembiayaan ini Ketua Bapepam-LK sudah mengeluarkan paket regulasi berupa Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Per-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Nomor Per-04/BL/2007 tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.

Adapun lingkup pengaturan dari Peraturan tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah antara lain meliputi: (1) pengaturan yang terkait sumber pendanaan yang antara lain dapat dilakukan melalui pendanaan Mudharabah Mutlaqah, pendanaan Mudharabah Muqayyadah, pendanaan Mudharabah Musytarakah dan pendanaan Musyarakah; (2) pengaturan yang terkait dengan pembiayaan Perusahaan Pembiayaan yang dapat dilakukan melalui pembiayaan dengan menggunakan akad-akad Ijarah, Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, Wakalah Bil Ujrah, Murabahah, Salam dan Istishna’; (3) kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah; dan (4) kewajiban pelaporan.

Sedangkan Peraturan tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, bertujuan untuk memberikan pedoman tentang hak dan kewajiban para pihak, obyek atas transaksi, persyaratan-persyaratan pada setiap jenis akad serta dokumentasi yang digunakan oleh Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan kegiatan usaha pembiayaan dengan menggunakan akad-akad sebagaimana telah diatur dalam peraturan dimaksud. Regulasi yang terkait dengan jenis-jenis akad nantinya akan senantiasa dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan pasar serta pemenuhan prinsip-prinsip syariah.

Implikasinya Terhadap Praktik

Berdasarkan pada pemaparan singkat di atas, terlihat bahwa penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan, termasuk lembaga pembiayaan dan perusahaan pembiayaan telah mendapatkan dasar hukum yang memadai. Pelan tapi pasti secara hukum telah ada upaya menuju penerapan prinsip-prinsip universal tersebut dalam operasional kegiatan ekonomi. Dalam konteks Indonesia perkembangan mengenai ekonomi syariah dapat kita bagi menjadi tiga tahap, yakni: tahap pengenalan (introduction), tahap pengakuan (recognition), dan terakhir tahap pemurnian (purification).

Tahap pengenalan untuk perbankan syariah yakni melalui UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan memperkenalkan bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Tahap pengakuan mendasarkan pada UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992, yakni menegaskan bahwa bank berdasarkan operasionalnya terdiri dari bank konvensional dan bank berdasarkan prinsip syariah. Kemudian saat ini dengan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Indonesia akan memasuki tahap pemurnian.

Lembaga hukum yang nantinya akan berdampak signifikan bagi perkembangan bank syariah di Indonesia menurut penulis adalah pemisahan (spin-off) terhadap UUS yang ada di bank konvensional untuk kemudian dijadikan menjadi Bank Umum Syariah, yang merupakan legal entity mandiri. Spin-off dimaksud dapat dilaksanakan secara sukarela dan wajib bagi bank-bank yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Adanya Komite Perbankan Syariah yang mempunyai tugas utama melakukan penelaahan terhadap fatwa DSN-MUI yang akan dijadikan PBI juga akan berpengaruh terhadap tahapan ini.

Sementara untuk LKBB, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan baru sampai pada tahap kedua yakni tahap pengakuan (recognition). Implikasinya secara kasat mata adalah pengaturannya menjadi satu dengan sistem konvensional, termasuk secara kelembagaan sehingga adanya anggapan bahwa lembaga dimaksud belum sepenuhnya menerapkan prinsip syariah adalah benar adanya.

Penutup

Demikian paparan singkat mengenai aspek hukum lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang ada di Indonesia. Langkah terpenting yang harus kita lakukan saat ini adalah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai lembaga-lembaga bisnis syariah tersebut, mengenai produk dan manfaatnya. Adanya diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memilih sarana investasi yang tepat, namun tetap sesuai dengan nilai-nilai syariah.

Reference:

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan

Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Per-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Nomor Per-04/BL/2007 tentang Akad-Akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah

Fatwa DSN MUI No. 21 DSN/MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah

www.bi.go.id, accesed 20 November 2008

www.depkeu.go.id, accesed 24 November 2008

www.bapepam.go.id, accesed 24 November 2008

www.sharialearn.com, accesed 25 November 2008


[1] Disampaikan pada Sekolah Syariah, Islamic Law Forum Fakultas Hukum UGM, Jumat, 12 Desember 2008.

[2] Mahasiswa S2 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM dan Resources pada Pusat Khasanah Hukum dan Praktik Bisnis Syariah, www.sharialearn.com.

[3] Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.

[4] Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.

[5] Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.

[6] Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

[7] www.bi.go.id, accesed 20 November 2008.

[8] Fatwa DSN MUI No. 21 DSN/MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Tidak ada komentar: