PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (STUDI KASUS PERTAMINA VS KARAHA BODAS COMPANY)
Oleh: Khotibul Umam, S.H.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kebutuhan terhadap modal asing merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari, terutama oleh negara-negara berkembang (developing countries). Hal ini dikarenakan urgennya pembangunan ekonomi bagi negara-negara berkembang. Namun di sisi lain mereka masih mengalami keterbatasan modal, informasi, manajemen, keahlian, dan teknologi untuk mengubah sumber daya ekonomi potensial menjadi sumber daya ekonomi produktif.
Indonesia termasuk dalam kelompok negara berkembang tersebut dan secara faktual sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing telah membuka akses kepada investor asing untuk ikut “menikmati” potensi alam Indonesia yang kaya.[1] Berbagai upaya dilakukan untuk menarik investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia dengan harapan segera mampu mewujudkan tujuan nasional yang tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum.
Hubungan antara pemerintah Indonesia melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan perusahaan asing dibuat melalui serangkaian negosiasi untuk kemudian dituangkan dalam kontrak. Berbagai kontrak telah disepakati, antara lain melalui Kontrak Production Sharing, Kontrak Karya, dan Kontrak Joint Venture. Dalam konteks Indonesia eksistensi sebuah kontrak tunduk pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian, yakni adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya obyek tertentu, dan adanya kausa yang halal. Kontrak yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut akan menimbulkan konsekuensi yuridis mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak untuk melaksanakannya dengan penuh itikad baik.[2]
Prinsip umum yang berlaku dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Melalui prinsip ini para pihak bebas menentukan isi perjanjian, bentuk perjanjian, dan sekaligus bebas untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Penyelesaian sengketa (dispute resolution) merupakan unsur aksidentalia[3] dalam sebuah kontrak yang sifatnya terbuka (open system). Walaupun demikian terkadang para pihak tidak memasukkan pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) dalam kontrak yang mereka buat entah karena kelalaian atau memang kesengajaan.
Sengketa dagang internasional adalah sengketa dagang yang timbul dari hubungan dagang internasional berdasarkan kontrak maupun tidak.[4] Dalam formulasi pertama, sengketa dagang internasional dapat menyangkut substansi kontrak maupun mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak itu. Sengketa apapun bentuknya pada hakikatnya merupakan masalah yang diusahakan untuk dihindari oleh para pihak, karena adanya akan menghambat proses bisnis yang umumnya berpengaruh terhadap efisiensi waktu, biaya, dan bonafiditas perusahaan.
Oleh karena kontrak dalam konteks ini mengandung elemen-elemen asing, maka dalam pelaksanaannya menimbulkan berbagai persoalan antara lain mengenai hukum manakah yang berlaku (applicable law) atas perjanjian atau kontrak tersebut dan forum (pengadilan) manakah yang berwenang mengadili jika terjadi sengketa hukum antara para pihak. Untuk mencari hukum yang berlaku dalam suatu kontrak yang mengandung unsur Hukum Perdata Internasional dapat dipergunakan bantuan titik-titik pertalian atau titik-titik taut sekunder, diantaranya adalah pilihan hukum (choice of law), tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus), atau tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis).[5]
Kontrak yang dibuat antara Pertamina dengan Karaha Bodas Company merupakan kontrak yang dalam hal klausula pilihan hukum dan pilihan forum tunduk pada UNCITRAL Arbitration Rules.[6] Dengan demikian pada saat penandatanganan kontrak dimaksud para pihak dalam hal ini Pertamina dan Karaha Bodas Company telah sepakat untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul melalui forum Arbitrase, yakni UNCITRAL Arbitration Rules.
Pada saat sengketa benar-benar terjadi, maka by operation of law para pihak terikat untuk menyelesaikannya melalui forum tersebut. Dalam kasus Pertamina vs KBC, sidang arbitrase di Jenewa memenangkan gugatan KBC berupa ganti biaya investasi USD 111 juta ditambah potensi keuntungan selama 30 tahun sebesar USD 150 juta serta bunga karena keterlambatan pembayaran.[7]
Putusan sebuah lembaga arbitrase berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat final and binding, serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Pada kasus ini putusan yang dihasilkan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 termasuk dalam Putusan Arbitrase Internasional yaitu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Secara faktual kasus Pertamina Vs KBC yang telah diputus oleh forum arbitrase di Jenewa ternyata belum dapat dilaksanakan secara efektif, karena adanya banyak faktor yang bermain termasuk di dalamnya faktor politis. Namun dalam paper ini tidak membahas faktor politik tersebut secara mendalam, melainkan akan membahasnya dari perspektif hukum, khususnya dengan meninjau prinsip-prinsip Hukum Perdata Internasional yang salah satunya termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas, beberapa masalah teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia pada Kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa?
2. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dimaksud dan bagaimana solusinya?
C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia pada Kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Karaha Bodas Company (KBC) adalah perusahaan dibawah kontrol Florida Oower & Light and Cithness Energy of New York yang berkerjasama dengan perusahaan Indonesia yaitu Pertamina. Sebagaimana tersebut di atas, kontrak yang dibuat khususnya dalam klausula penyelesaian sengketa tunduk pada UNCITRAL Arbitration Rules. Di tinjau dari aspek Hukum Perdata Internasional hal ini menggunakan titik pertalian berupa pilihan hukum (choice of law).
Pilihan hukum ini dihormati dengan beberapa alasan, yaitu: Pertama, pilihan hukum sebagaimana dimaksud sangat memuaskan bagi mereka yang menganggap kebebasan individu adalah dasar murni dari hukum. Kedua, pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian berupa kemudahan para pihak untuk menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut. Ketiga, akan memberikan efisiensi, manfaat, dan keuntungan. Dan keempat, pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing.[8]
Kebebasan dari para pihak dalam memilih hukum dan forum dimaksud tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa (mandatory rules). Pembatasan ini ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar.
Dengan mempertimbangkan kepentingan hubungan perdata dan dagang internasional, pelaksanaan keputusan arbitrase asing dalam wilayah suatu negara umumnya diterima secara luas oleh negara-negara anggota masyarakat internasional.[9]
Alasan mengapa forum arbitrase dipilih sangat terkait erat dengan adanya kritik terhadap forum penyelesaian sengketa lain khusunya pengadilan antara lain:[10]
1) Pengadilan nasional umumnya, kurang mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi mengenai hukum komersial internasional.
2) Dikeluarkannya putusan pengadilan ternyata tidaklah otomatis perkara yang bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan tersebut masih mempunyai saluran lain untuk “melampiaskan” ketidakpuasannya dengan cara mengajukan kembali sengketa tersebut ketingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding sehingga waktunya akan berlarut-larut.
Sengketa antara Pertamina dan KBC terjadi sebagai akibat dari krisis ekonomi yang kemudian mendorong Pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 47 Tahun 1997 ke dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 yang isinya antara lain menghentikan proyek geothermal yang di dalamnya juga melibatkan PLN sebagai pihak. Merasa dirugikan KBC dengan mendasarkan pada kontrak membawa sengketa dimaksud ke Mahkamah Arbitrase di Switzerland dan putusan yang dihasilkan adalah menyatakan bahwa Pertamina dan PLN telah mengalami wanprestasi (breach of contract).[11]
Dengan adanya putusan arbitrase asing atau yang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebut Putusan Arbitrase Internasional, maka yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan dimaksud adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[12]
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Secara a contrario Putusan Arbitrase Internasional yang tidak memenuhi persyaratan sebagaima dimaksud tidak dapat dilaksanakan. Di samping itu berdasarkan doktrin ada kemungkinan bagi para pihak untuk menolak keputusan tersebut didasarkan pada doktrin pembatalan (nullity doctrine). Alasan-alasan yang dapat diajukan antara lain yaitu:[13]
1) Bila Mahkamah Arbitrase tidak mempunyai kewenangan dimana instrumen akan melaksanakan tugasnya tidak sah, atau belum mempunyai kekuatan berlaku/telah direalisir.
2) Jika arbiter yang dipilih telah melebihi wewenang yang diberikan para pihak dan gagal dalam menerapkan instruksi yang diberikan para pihak kepadanya, dalam kaitannya dengan hukum yang harus diterapkan/diminta untuk memilih alternatif yang harus diputuskan sendiri.
3) Bila mahkamah melebihi aturan dasar prosedur hukum dalam memutuskan perkara.
4) Prinsip bahwa kepada kedua belah pihak harus diberikan kesempatan yang sama untuk mempresentasikan kasusnya mengenai masalah yang mendasar.
5) Gagal untuk memberikan alasan suatu keputusan dapat dijadikan dasar untuk menolak keputusan arbitrase. Alasan suatu keputusan sangat penting bagi para pihak karena para pihak ingin mengetahui tanggapan dari mahkamah atas argumen yang diajukan lebih mendasar sehingga suatu alasan putusan menjamin bahwa mahkamah menentang godaan untuk menyederhanakan dan dasar keputusan merits of the case.
6) Suatu putusan merupakan putusan yang curang. Termasuk ketidakjujuran dalam mempresentasikan suatu kasus di depan mahkamah, atau korupsi oleh salah satu anggota mahkamah dan kesalah mendasar (essensial error).
Syarat ketiga yang menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dalam implementasinya seringkali menimbulkan permasalahan. Hal ini terjadi karena ketertiban umum (public policy) itu berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, serta akan berbeda dari waktu-kewaktu. Adapun pengertian ketertiban umum adalah segala peraturan hukum Indonesia baik tertulis maupun tidak yang mengandung sendi-sendi azazi yang bersumber dari falsafah negara.[14]
Perjanjian yang didalilkan oleh pihak yang dikalahkan sebagai bertentangan dengan public policy sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap hak untuk membela diri (due process of law), dapat tidaknya tunduk kepada arbitrase (arbitrability), dan batal demi hukum (null and void). Namun kenyataannya menunjukkan bahwa pihak yang dikalahkan lebih condong untuk mempergunakan alasan public policy daripada alasan-alasan lain yang juga tersedia menurut Konvensi New York 1958.[15]
Berdasarkan Pasal 66 huruf e maka pelaksanaan putusan arbitrase dimaksud hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini terjadi karena Pertamina dan PLN merupakan BUMN yang notabene adalah perusahaan milik negara, in casu Pemerintah Indonesia menjadi pihak dalam sengketa dimaksud.
Anehnya, pada saat yang hampir bersamaan Pertamina menggugat KBC terkait dengan keabsahan kontrak yang dibuatnya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Pertamina, melarang KBC melakukan langkah-langkah untuk melaksanakan putusan arbitrase, dan menyatakan bahwa KBC berkewajban untuk membayar sejumlah uang kepada Pertamina. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menyatakan bahwa putusan dimaksud dapat dilaksanakan segera mungkin meskipun ada upaya banding.
Berdasarkan hal itu tampak bahwa Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus KBC belum dapat diterima dan dilaksanakan di Indonesia. Adapun gugatan Pertamina kepada KBC, dimana di dalamnya memuat klausula arbitrase sebagai pilihan hukum pada dasarnya kurang tepat ditinjau dari Hukum Perdata Internasional. Alasan public policy sebagaimana tersebut di atas hendaknya digunakan seminimal mungkin. Menurut Sudargo Gautama bahwa lembaga ketertiban umum (openbare orde, public policy) yang memberi kemungkinan bagi hakim untuk dalam suatu hal tertentu mengenyampingkan pemakaian hukum asing yang seyogyanya harus dipakai hendaknya merupakan rem darurat yang harus dipakai seirit mungkin. Lebih lanjut Beliau menyatakan bahwa fungsi lembaga ketertiban umum adalah sebagai tameng untuk membela diri dan bukan suatu pedang untuk menusuk hukum asing.[16]
Mengingat aset Pertamina juga ada di negara-negara lain, maka KBC selain melakukan langkah agar putusan arbitrase dilaksanakan di Indonesia juga menempuh langkah hukum agar putusan dimaksud diterima dan dilaksanakan di negara lain dimana aset Pertamina berada. Misalnya terjadi di Amerika Serikat, dimana Mahkamah Agung negara Paman Sam itu memutuskan bahwa PT. Pertamina tetap harus membayar ganti rugi sebesar 265 juta US Dollar atas kasus pembatalan Proyek Listrik Tenaga Panas Bumi kepada Karaha Bodas Company. Putusan ini menguatkan pengadilan dibawahnya atas kasus KBC enam tahun lalu.[17]
Di luar negeri, yaitu Singapura Pertamina menang terhadap KBC. Pengadilan Banding Singapura memenangkan Pertamina pada kasus gugatan KBC atas aset Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak perusahaan Pertamina di Hongkong. Pengadilan Singapura juga menghukum KBC untuk menanggung biaya persidangan dan kerugian yang ditimbulkannya. Kemenangan Pertamina ini merupakan bagian dari upaya hukum yang terus-menerus dilakukan Pertamina secara konsisten sejak tahun 2000 terhadap keputusan Arbitrase International yang dinilai Pertamina sangat tidak adil dan merugikan Pertamina dan Pemerintah Indonesia.[18]
Dengan demikian terhadap Putusan Arbitrase Internasional di Jenewa belum dapat dilaksanakan secara efektif di Indonesia karena masih terdapat hambatan dari Indonesia terhadap pelaksanaan putusan dimaksud. Namun demikian terhadap aset Pertamina yang ada di negara lain tidak tertutup kemungkinan akan dapat dieksekusi oleh pengadilan lokal atas permintaan KBC sebagai pihak yang menang dalam proses Arbitrase di Jenewa berdasarkan asas Hukum Perdata Internasional yaitu asas lex rei sitae yang intinya menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana benda itu berada.
2. Hambatan Pelaksanaan Arbitrase Internasional dan Solusinya
Berdasarkan pada pemaparan di atas menujukkan bahwa Putusan Arbitrase Asing yang dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebut dengan Putusan Arbitrase Internasional, terkadang tidak mudah diterima dan dilaksanakan, terutama di Negara dimana pihak yang dikalahkan berada. Berbagai alasan akan diajukan untuk menolak suatu pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada Kasus Putusan Arbitrase Internasional antara Pertamina dan PLN melawan PT. KBC terdapat beberapa hambatan yang menyebabkan putusan tersebut tidak dapat diterima dan dilaksanakan, khususnya di Indonesia. Beberapa hambatan dapat diidentifikasi antara lain adalah sebagai berikut:
1) Ketertiban Umum (Public Policy)
Ketertiban umum adalah lembaga hukum yang paling sering dipakai oleh kebanyakan negara untuk menolak berlakunya hukum asing. Hingga saat ini belum ada batasan yang pasti mengenai apa itu ketertiban umum (public policy). Setiap negara, bahkan setiap orang akan menafsirkan ketertiban umum secara berbeda. Dalam konteks negara ketertiban umum sangat terkait erat dengan ideologi yang dianutnya, serta konfigurasi politik yang ada pada saat itu.
Lembaga ketertiban umum ini juga diterima dalam New York Convention dan UNCITRAL model law, dimana ketertiban umum adalah salah satu alasan untuk menolak suatu putusan arbitrase internasional. Berdasarkan Pasal V (2) huruf b Konvensi New York ditafsirkan sebagai clearly incompatible with public policy or with fundamentak principles of thelaw (public order) of the country in which the award is sought to be relied upon.
Para penulis dan putusan arbitrase internasional menyatakan bahwa luasnya ketertiban umum menurut Konvensi New York 1958 ditafsirkan mencakup antara lain hak-hak untuk membela diri, sengketa-sengketa yang boleh diarbitrase, netralitas arbiter, dan batal demi hukumnya suatu putusan arbitrase.[19]
Menggunakan argumentasi ketertiban umum untuk melawan sebuah putusan arbitrase internasional adalah langkah paling efektif bagi negara tuan rumah (host state), khususnya negara berkembang (developing country) selaku pihak yang dikalahkan untuk menolak putusan arbitrase internasional tersebut. Hal ini terjadi karena pengadilan lokal dimana putusan arbitrase internasional hendak dilaksanakan secara relatif lebih bebas memberi penafsiran terhadap istilah ketertiban umum dimaksud.
Pada kasus Pertamina Vs KBC, Pengadilan Indonesia mencampuri substansi dari kontrak, yakni men-judge bahwa proses negosiasi dan pembuatan kontrak di dalamnya terdapat unsur korupsi. Akibatnya bahwa kontrak yang bersangkutan tidak lagi berunsur privat, akan tetapi terkait dengan kebijakan publik negara Indonesia sehingga dalam konteks hukum Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Bahwa berdasarkan Pasal 66 huruf b bahwa putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan jika menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
Hal ini menunjukkan bahwa pada term ketertiban umum, pada kasus KBC bisa mencakup tidak hanya pembelaan terhadap kepentingan umum, akan tetapi juga terkait dengan pembelaan diri untuk tidak dapat dilaksanakannya putusan arbitrase (non-arbitrability).[20]
Dengan demikian lembaga ketertiban umum di satu sisi dapat memberikan perlindungan hukum bagi suatu negara dari putusan arbitrase internasional/arbitrase asing yang mungkin merugikan kepentingan negara yang bersangkutan, akan tetapi di sisi lain seringkali bisa dijadikan alat bagi negara yang dikalahkan untuk secara sengaja mencegah putusan arbitrase internasional tersebut walaupun secara material pada dasarnya putusan dimaksud dapat dilaksanakan. Penulis sepakat dengan pendapat Sudargo Gautama yang menyatakan bahwa lembaga ketertiban umum hendaknya digunakan seminimal mungkin.
2) Kepentingan Nasional (National Interest)
Alasan lain yang seringkali digunakan untuk mencegah atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah alasan kepentingan nasional (national interest). Ada persyaratan bahwa hukum yang berlaku harus mendukung terhadap kepentingan nasional, sehingga setiap putusan pengadilan, termasuk juga putusan arbitrase pun hendaknya sesuai atau sejalan dengan kepentingan nasional.
Sama dengan ketertiban umum, lembaga kepentingan nasional inipun tidak terdapat definisi yang pasti. Setiap negara dapat mendefinisikan sesuai dengan sudut pandang (point of view) masing-masing.
Dalam kasus KBC, Pertamina berargumentasi bahwa proyek geothermal yang ditandatangani pada masa Orde Baru pada dasarnya tidak memberikan keuntungan bagi rakyat Indonesia. Pertamina juga berargumentasi bahwa KBC telah memanipulasi fakta sehingga kontrak dengan Pertamina pada waktu itu dapat ditandatangani oleh para pihak. Dengan kata lain terdapat unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam negosiasi dan pembuatan kontrak. Berdasarkan alasan ini Pertamina meminta pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase dan ternyata pengadilan mengabulkannya.[21]
Dampak negatif penggunaan alasan kepentingan nasional untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah dapat mengurangi kepastian hukum (legal certainty). Hal ini akan membuat Indonesia semakin di cap sebagai negara yang tidak menjunjung tinggi asas kepastian hukum, baik dalam regulasi maupun dalam pelaksanaan kebijakannya terkait dengan Penanaman Modal Asing.
3) Adanya Gerakan Anti Investor Asing (Anti Foreign Investor Movement)
Ada sebuah kepercayaan bahwa krisis moneter yang terjadi di Asia disebabkan oleh adanya investasi asing. Krisis ekonomi tidak hanya menyebabkan adanya dampak negatif bagi perekonomian negara-negara Asia tetapi juga menyebabkan terjadinya perubahan kondisi politik.
Kondisi inilah yang menyebabkan beberapa Non Governmental Organisation (NGO) atau dikenal dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berargumentasi bahwa agen asing telah mengorbankan hak moral menentukan kebijakan antikorupsi di Indonesia. Hal ini ternyata juga berdampak bagi Pengadilan Indonesia untuk menjadikannya sebagai bukti dalam menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional, termasuk di dalamnya putusan arbitrase pada kasus Pertamina Vs KBC.
Ketiga hal tersebut seringkali menjadi hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Bahwa pada dasarnya sebuah putusan arbitrase secara umum bersifat final and binding. Adanya klusula arbitrase (arbitration clause) dalam konteks hukum di Indonesia merupakan dasar kompetensi absolut bagi lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara para pihak. Putusan yang dihasilkan oleh lembaga arbitrase setelah didaftarkan ke Pengadilan Negeri atau untuk Putusan Arbitrase Internasional didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka putusan dimaksud seharusnya sudah dapat dilaksanakan oleh para pihak secara sukarela.
Namun pada kenyataannya banyak celah (loop hole) yang secara legal dapat dijadikan alasan untuk menolak pelaksanaan suatu putusan arbitase internasional tersebut. Alasan ketertiban umum (public policy), alasan kepentingan nasional (national interest), dan banyaknya gerakan anti investor asing merupakan alasan yang paling sering dipakai untuk mengelak dari pelaksanaan putusan yang arbitrase internasional.
Solusi yang dapat ditempuh untuk mengurangi adanya hambatan tersebut antara lain adalah menerapkan lembaga ketertiban umum pada saat pembuatan perjanjian, bukan memakai lembaga ketertiban umum pada saat sengketa sudah terjadi dan putusan sudah dikeluarkan. Apabila telah ada putusan terhadap sengketa tertentu, maka seyogyanya penggunaan lembaga ketertiban umum termasuk alasan kepentingan nasional, dengan mengutip pendapat Sudargo Gautama adalah seirit mungkin. Hal ini penting, karena jika Indonesia tidak hati-hati dalam penggunaannya akan berdampak negatif berupa dikucilkannya Indonesia dalam pergaulan internasional karena dianggap tidak memperhatikan kepastian hukum dan keadilan sebagai hal mendasar dari hukum.
Solusi ini memang masih bersifat abstrak dan kurang aplikatif, akan tetapi dengan adanya political will dari Pemerintah tentunya dapat dilaksanakan. Adanya merupakan faktor penting dan selaras dengan mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 alenia IV yang merupakan tujuan nasional yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.[22]
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pemaparan di atas terkait dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia pada Kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company ditinjau dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dengan menggunakan alasan Pasal 66 huruf b dan c intinya menyatakan bahwa putusan arbitrase dimaksud tidak termasuk lingkup hukum perdagangan dan bertentangan dengan ketertiban umum sehingga Pengadilan Indonesia menolak putusan dimaksud dan menyatakan tidak dapat dilaksanakan.
2) Hambatan dalam pelaksanaan arbitrase internasional, khususnya dalam kasus Pertamina Vs KBC adalah penggunaan alasan kepentingan umum, kepentingan nasional, dan adanya gerakan anti investor asing oleh Pengadilan Indonesia yang kemungkinan kurang tepat. Adapun solusinya adalah menerapkan prinsip ketertiban umum pada saat pembuatan perjanjian, bukan pada saat sengketa sudah terjadi dan putusan sudah dikeluarkan, serta dalam hal sudah ada putusan terhadap sengketa tertentu, maka seyogyanya penggunaan lembaga ketertiban umum termasuk alasan kepentingan nasional, dengan mengutip pendapat Sudargo Gautama adalah seirit mungkin.
2. Saran
Berdasarkan pada permasalahan yang ada, Penulis memberikan saran atau rekomendasi sebagai berikut:
1) Perlu adanya keyakinan dari para pihak dalam memilih hukum (choice of law) dan memilih forum (choice of forum), misalnya dalam membuat klausula arbitrase (arbitration clause) hendaknya sekomprehensif mungkin. Di samping itu juga dalam ketentuan umum kontrak perlu dicantumkan pengertian ketertiban umum (public policy) dan kepentingan nasional (national interest) untuk kemudian secara jelas dijabarkan pada batang tubuh kontrak dimaksud. Pemilihan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh investor asing juga dapat dijadikan alternatif, mengingat hukum yang dipakai adalah hukum Indonesia sehingga pelaksanaannya akan lebih mudah.
2) Sejalan dengan pendapat Sudargo Gautama, Penulis menyarankan agar penggunaan lembaga ketertiban umum dan kepentingan nasional sehemat mungkin dan pemerintah hendaknya tidak seenaknya menggunakan lembaga ini, karena dapat menimbulkan dampak negatif di kemudian hari bagi Indonesia dalam pergaulan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala, 2007, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama.
Anonim, 2006, “Kasus KBC: Pertamina Harus Bayar USS 265 Juta”, Artikel pada Forum Jurnalis Jakarta: Media Center, www.politikindonesia.com, tanggal akses 3 April 2008.
Gautama, Sudargo, tt, Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakata.
Herliana, 2007, “International Commercial Arbitration, The Best Way to Resolve Commercial Dispute? A Lesson Learned From Indonesia Practice”, Artikel Pada Mimbar Hukum Volume 19, Nomor 2, Juni 2007, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
Kantrol, Mark, 2001, “International Project Finance and Arbitration with Public Sector Entities: When is Arbitrability a Fiction?” Fordham International Law Journal.
Khairandy, Ridwan, 2007, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Yogyakarta: FH UII Press.
Longdong, Tineke Louise Tuegeh, 1998, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958: Sebuah Tinjauan atas Pelaksanaan Konvensi New York 1958 pada Putusan-putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Asing, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Patah, Abdullah Abdul, 2008, Hukum Antar Tata Hukum Intern, Bahan Kuliah Hukum Perdata Internasional Program Pascasarjana Ilmu Hukum UGM, Yogyakarta.
Putra, Ida Bagus Wiyasa, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Bandung: PT. Refika Aditama.
Suwardi, Sri Setianingsih, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press.
Widiyanti, Arin, 2005, “Pertamina Menangkan Kasus KBC di Pengadilan Singapura”, Artikel pada detikfinance, www.detikfinance.com, tanggal akses 3 April 2008.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
[1] Saat ini sudah diudangkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
[2] Lihat Pasal 1338 KUHPerdata
[3] Unsur aksidentalia adalah hal-hal yang secara tegas harus diperjanjikan dalam suatu kontrak.
[4] Ida Bagus Wiyasa Putra, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Bandung: PT. Refika Aditama, hal 91.
[5] Ridwan Khairandy, 2007, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Yogyakarta: FH UII Press, hal 127.
[6] Herliana, 2007, “International Commercial Arbitration, The Best Way to Resolve Commercial Dispute? A Lesson Learned From Indonesia Practice”, Artikel Pada Mimbar Hukum Volume 19, Nomor 2, Juni 2007, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta., hal 215.
[7] Rangkuman Diskusi Hukum Mailing List Migas Indonesia bulan Oktober 2006
[8] Ridwan Khairandy, Op. Cit, hal 128-129.
[9] Ida Bagus Wiyasa Putra, Op. cit, hal 122.
[10] Huala Adolf, 2007, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika Aditama, hal 174.
[11] Herliana, Op. cit, hal 215.
[12] Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
[13] Sri Setianingsih Suwardi, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press, hal 53-54.
[14] Abdullah Abdul Patah, 2008, Hukum Antar Tata Hukum Intern, Bahan Kuliah Hukum Perdata Internasional Program Pascasarjana Ilmu Hukum UGM, Yogyakarta.
[15] Tineke Louise Tuegeh Longdong, 1998, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958: Sebuah Tinjauan atas Pelaksanaan Konvensi New York 1958 pada Putusan-putusan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Asing, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 253.
[16] Sudargo Gautama, tt, Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakata, hal 154.
[17] Anonim, 2006, “Kasus KBC: Pertamina Harus Bayar USS 265 Juta”, Artikel pada Forum Jurnalis Jakarta: Media Center, www.politikindonesia.com, tanggal akses 3 April 2008.
[18] Arin Widiyanti, 2005, “Pertamina Menangkan Kasus KBC di Pengadilan Singapura”, Artikel pada detikfinance, www.detikfinance.com, tanggal akses 3 April 2008.
[19] Tineke Louise Tuegeh Longdong, Op. Cit, hal 10.
[20] Mark Kantrol, 2001, “International Project Finance and Arbitration with Public Sector Entities: When is Arbitrability a Fiction?” Fordham International Law Journal, hal 1169.
[21] Herliana, Op. cit, hal 221.
[22] Lihat Alenia IV Pembukaan UUD 1945
1 komentar:
he mas khotib Sirius Amat urusan ma Mr. Abdullah AP
Posting Komentar