Oleh: Khotibul Umam, S.H.
A. PENDAHULUAN
Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Hal ini membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang-undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen.
Rasio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.[1] UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945.[2]
Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C).[3]
Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai klausula baku. Sedangkan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Berdasarkan pada hal-hal dimaksud, maka Penulis tertarik untuk mengangkat tema perlindungan konsumen di bidang perbankan ke dalam karya tulis ini. Untuk itu judul yang penulis angkat adalah Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Sebagai Konsumen Jasa Perbankan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, masalah teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan?
C. ANALISISI DAN PEMBAHASAN
1. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UUPK bukan satu-satunya yang mengatur perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelumnya telah ada peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 KUHP, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.[4]
Perlindungan hukum bagi nasabah menjadi urgen, karena secara faktual kedudukannya relatif lemah. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dipersiapkan oleh pihak bank. Nasabah hanya mempunyai pilihan menerima atau menolak perjanjian yang dimaksud.
Keberatan terhadap perjanjian standar yaitu: (1) Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak, (2) Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya, (3) Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, (4) Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi.[5]
Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing.[6] Untuk itu dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah perlu adanya upaya edukasi dan penjelasan mengenai isi perjanjian dimaksud.[7]
Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi UUPK memberikan pengaturan mengenai klausula baku, yaitu sebagai berikut:[8]
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan nasabah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain sebagai berikut:[9]
1) Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian.
2) Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit/pembiayaan.
3) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.
4) Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.
Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, kaitannya dengan perjanjian standar diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.
2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perbankan
Sebagaimana disebut di atas bahwa peraturan hukum yang memberikan perlindungan bagi nasabah tidak hanya UUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat sehingga perlu melaksanakan prinsip kepercayaan (fiduciary principle).
Kepercayaan merupakan inti perbankan sehingga bank harus menjaganya. Hukum sebagai alat rekayasa sosial terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.
Pertama, untuk memberikan perlindungan hukum bagi nasabah deposan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.[10]
Amanat dimaksud telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.[11]
Kedua, perlindungan hukum bagi nasabah, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008[12] dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008.[13]
Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005, mendefinisikan Pengaduan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.
Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005, yaitu sebagai berikut:
a) Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut.
b) Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk mengajukan pengaduan.
c) Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.
Mengingat penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.
Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.[14]
Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan menurut Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Proses beracara dalam Mediasi Perbankan secara teknis diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:
a) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.
b) Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.
Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan, yaitu sebagai berikut:[15]
a) Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;
b) Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;
c) Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
d) Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
e) Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan
f) Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat:[16]
a) Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan
b) Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Jika proses mediasi telah selesai dilaksanakan, maka pihak bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari UUPK terletak pada adanya kewajiban bagi bank untuk mengindahkan tata cara pembuatan klausula baku.
2) Perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari peraturan perundang-undangan perbankan, yakni adanya kewajiban bank menjadi anggota LPS sehingga dapat memberi perlindungan bagi nasabah deposan terhadap simpanannya dan adanya hak nasabah melakukan pengaduan nasabah, serta menggunakan forum mediasi perbankan untuk penyelesaian sengketa secara sederhana, murah, dan cepat.
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Johannes, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama.
Nasution, Az., 2003, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No. 8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.
Rajagukguk, Erman, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju.
Shofie, Yusuf, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Untung H. Budi, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan.
[1] Az. Nasution, 2003, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No. 8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.
[2] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal 17
[3] Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 32-33.
[4] Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju, hal vi.
[5] H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi, hal 38.
[6] Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama, hal 47.
[7] Ibid, hal 47.
[8] Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
[9] Ibid, hal 42.
[10] Pasal 37 B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
[11] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004.
[12] PBI 10/10/PBI/2008 merubah ketentuan Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 PBI No. 7/7/PBI/2005.
[13] PBI No. 10/1/PBI/2008 merubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 15 PBI No. 8/5/PBI/2006.
[14] Pasal 1 angka 5 PBI No. 8/5/PBI/2006
[15] Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006
[16] Pasal 9 PBI No. 8/5/PBI/2006
1 komentar:
PERADILAN INDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA
Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas
Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku
untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran
fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??
David Pangemanan,
(0274)9345675
Posting Komentar