Oleh: Khotibul Umam, S.H.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sektor Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen pembangunan (agent of development), karena bank merupakan lembaga keuangan yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.[1] Di samping itu perbankan juga merupakan agen kepercayaan (agent of trust) mengingat adanya salah satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip kepercayaan (fiduciary principle).
Walaupun hubungan yang terjalin antara bank dan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan, akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat dihindarkan adanya sengketa (dispute) di antara mereka. Hal ini berawal dari terjadinya komplain yang diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank. Di sisi lain terkadang ada bank yang kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau bahkan mengabaikannya. Padahal bank memiliki kewajiban untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008.
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah pada praktiknya tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik seluruhnya maupun sebagian mengingat lembaga Pengaduan Nasabah berada pada internal bank yang bersangkutan sehingga penyelesaiannya merupakan kebijakan bank tempat nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Ketika nasabah menerima putusan yang diberikan oleh bank tersebut maka permasalahan selesai. Akan tetapi terkadang ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak memberikan solusi seperti yang diinginkannya sehingga pada gilirannya berbagai cara akan ditempuh antara lain melaporkan kepada Lembaga Konsumen, Lembaga Ombudsman, mengajukan gugatan secara perdata, bahkan terkadang ada nasabah yang melaporkan bank kepada polisi. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian melalui lembaga-lembaga dimaksud seringkali berlarut-larut dan terlalu prosedural sehingga harapan kedua belah pihak untuk memperoleh solusi terbaik secara sederhana, murah, dan cepat belum tentu dapat tercapai.
Ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank semakin berkepanjangan dan apabila tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah.
Pada dasarnya upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi dan arbitrase sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan, khususnya bagi nasabah kecil karena memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Penyelesaian melalui lembaga-lembaga dimaksud seringkali berlarut-larut dan terlalu prosedural.
Berdasarkan pada kondisi dimaksud maka diperlukan sebuah lembaga penyelesaian sengketa alternatif (alternatif dispute resolution) yang mampu melaksanakan fungsi dispute settlement yang bersifat win-win solution, sehingga dapat lebih memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa secara proporsional.
Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak adalah mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi bagi para pihak yang sedang bersengketa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan utama Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Sebagai realisasi untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas antara lain mengatur dan mengawasi bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dan harus mempertimbangkan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang perekonomian.[2] Untuk melaksanakan tugas tersebut Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan peraturan, memberikan atau mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[3]
Kewenangan Bank Indonesia sebagai regulator dan supervisi tersebut dapat diwujudkan antara lain berupa pemberian pengaturan terkait dengan penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan. Hal ini sejalan dengan salah satu pilar yang terdapat dalam Aristektur Perbankan Indonesia, yaitu Perlindungan Konsumen berupa nasabah bank.
Di samping itu, kita ketahui bahwa hubungan antara nasabah dengan bank adalah hubungan transaksional biasa yang diikat oleh hukum perdata. Salah satu syarat terjadinya hubungan itu adalah kesepakatan dan kesetaraan di antara keduanya dalam membuat perikatan. Akan tetapi, apakah pada kenyataannya nasabah deposan mempunyai kedudukan yang setara dan telah terjadi kesepakatan sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.[4] Argumentasi inilah yang mendasari perlunya sebuah lembaga independen yang dapat menjadi alternatif bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Khusus untuk perbankan mengenai mediasi diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank.[5] Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk mengangkat tema penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank melalui Mediasi Perbankan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang alternatif penyelesaian sengketa yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PBI dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) terkait.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang di atas, permasalahan teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa perbankan melalui forum Mediasi Perbankan?
2. Bagaimana kekuatan hukum hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan?
C. PEMBAHASAN
1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Forum Mediasi Perbankan
Pengertian Mediasi secara normatif tidak kita jumpai dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh karena itu pengertian mediasi di ambil dari pendapat ahli dan kamus. Menurut Rachmadi Usman mediasi adalah penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.[6]
Sementara dalam Black Law Dictionary mengenai mediasi ini didefiniskan sebagai berikut:
Mediation is privat, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decission on the parties.[7]
Jadi, mediasi adalah sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral, dalam artian pihak ketiga dimaksud (mediator) tidak memiliki kompetensi untuk membuat keputusan. Mediator hanya diperkenankan memberikan tawaran alternatif solusi dan para pihak sendiri yang pada akhirnya memberikan putusannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seorang mediator berperan sebagai penengah yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Sebagai penengah di sini di samping sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, juga dapat membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Untuk itu seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan pelbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan.[8]
Adapun yang menjadi tujuan dari lembaga mediasi secara umum adalah: (1) untuk menemukan solusi terbaik atas sengketa yang terjadi di antara para pihak, dimana solusi ini dapat mereka percayai atau jalankan dan bukan untuk mencari kebenaran atau memaksakan penegakan hukum, melainkan untuk menyelesaikan masalah; (2) mensosialisasikan dan mengembangkan konsep mediasi kepada publik, pemerintah dan organisasi dengan bekerjasama dengan berbagai institusi; (3) mendorong pemanfaatan mediasi dalam menyelesaikan sengketa pada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan semangat musyawarah; dan (4) memberikan jasa mediasi.[9]
Mediasi sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out of court) ini memiliki beberapa manfaat, antara lain yakni: (1) dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat, menghemat waktu, biaya, skill; (2) pelaksanaannya secara tertutup dan rahasia, (3) prosedur dan proses bersifat informal, (4) fokus kepada akar permasalahan dengan memperhatikan aspek-aspek komersial, psikologis dan emosi para pihak, (5) bentuk penyelesaian pada hakikatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa.[10]
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa khusus untuk penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank, berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 dapat dilaksanakan oleh Mediasi Perbankan yang sedianya akan dilaksanakan oleh Lembaga Mediasi Independen. Namun mengingat Lembaga Mediasi Independen belum dapat dibentuk oleh Asosiasi Perbankan, maka fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Mediasi merupakan suatu proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan[11]. Mediasi biasa dipakai untuk menyelesaikan case-case keperdataan. PBI No.8/5/PBI/2006 memberikan kewenangan kepada BI untuk sementara melaksanakan mediasi perbankan sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan indipenden, yang selambat-lambatnya dibentuk 31 Desember 2007[12]. Artinya, pelaksanaan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia bersifat sementara (temporary) sebelum terbentuknya lembaga baru yang secara khusus melaksanakan mediasi perbankan nantinya.
Fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang permasalahan atau sengketa yang timbul di antara mereka untuk memperoleh kesepakatan. Adapun yang dimaksud dengan “membantu Nasabah dan Bank” adalah Bank Indonesia memfasilitasi penyelesaian Sengketa dengan cara memanggil, mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau keputusan.[13]
Banyak para ahli berpendapat bahwa PBI No. 8/5/PBI/2006 dan SEBI No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan, tidak sepenuhnya sesuai prinsip mediasi, karena:[14]
a. Pengajuan penyelesaian mediasi hanya dilakukan oleh nasabah/perwakilan nasabah (Pasal 7 ayat (1) PBI No. 8/5/PBI/2006);
b. Mengandung unsur paksaan (kewajiban) kepada bank untuk memenuhi panggilan BI dan mengikuti proses mediasi (Pasal 7 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006);
c. Terdapat ancaman pengenaan sanksi adimistratif dan tingkat kesehatan bank (seharusnya dalam rangka pengawasan) jika bank tidak melaksanakan hal-hal yang ditentukan dalam Akta Kesepakatan Mediasi ( Pasal 16 PBI No. 8/5/PBI/2006).
Terlepas dari perdebatan yang masih berlangsung, di bawah ini Penulis akan memaparkan beberapa ketentuan dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Forum Mediasi Perbankan sebagaimana yang telah diatur dengan PBI No. 8/5/PBI/2006 Jo. PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Pertama, Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan (Pasal 1 angka 5 PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan).
Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan sebagaimana telah disebut dalam ketentuan Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni:
a) Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan
b) Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan untuk sementara dilaksanaan oleh Bank Indonesia.
Kedua, Proses beracara dalam Media Perbankan secara teknis telah diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:
a) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.
b) Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.
Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan (Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:
a) Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;
b) Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;
c) Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;
d) Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;
e) Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi Perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan
f) Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.
Pasal 9 PBI No. 8/5/PBI/2006 menyebutkan bahwa Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat: Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kemudian Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.[15]
Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa perlu pengaturan dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate), padahal nasabah telah melakukan pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap penyelesian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Untuk itu di sini diusulkan agar sejak semula para pihak sudah setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan dana dapat disertakan pada buku rekening simpanan nasabah bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan setelah terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah.
Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai mandatory mediation[16] yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan penyelesaian sengketa (vide Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat untuk melaksanakannya semata-mata karena memang diperjanjikan (asas pacta sunt servanda).
Ketiga, secara lebih detail dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, ketentuan dan proses Mediasi Perbankan adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan Pengajuan Penyelesaian Sengketa
a. Pengajuan penyelesaian sengketa nasabah hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut
b. Sengketa yang diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan
c. Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis dengan format sesuai Lampiran 1 SEBI (Surat Edaran Bank Indonesia) dengan menyertakan dokumen yang dipersyaratkan.
Pelaksana fungsi Mediasi Perbankan dapat menolak pengajuan penyelesaian sengketa yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud.
2. Batas waktu
Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari bank sampai dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui pos.
Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.
3. Nilai tuntutan finansial
Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).
4. Cakupan nilai tuntutan finansial
a. Nilai kumulatif dari kerugian yang telah terjadi pada nasabah.
b. Potensi kerugian karena penundaaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain.
c. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa.
d. Nilai tuntutan finansial ini tidak termasuk nilai kerugian immaterial.
5. Prosedur
a. Atas dasar pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah, pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat melakukan klarifikasi atau meminta penjelasan kepada nasabah dan bank secara lisan dan atau tertulis
b. Pelaksana fungsi mediasi perbankan memanggil nasabah dan bank untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan mediasi perbankan. Apabila nasabah dan bank sepakat menggunakan mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa, nasabah dan bank wajib menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate).
c. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan bank.
Yang dimaksud dengan bersifat final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan, sedangkan yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi nasabah dan bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pada ketentuan Pasal 14 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di bidang perbankan dengan cara Mediasi kepada Nasabah.
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tersebut disebutkan bahwa informasi yang wajib dipublikasikan oleh Bank paling kurang memuat:
a. Prosedur yang harus ditempuh Nasabah untuk dapat mengajukan penyelesaian sengketa;
b. Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa;
c. Batas waktu pengajuan penyelesaian sengketa;
d. Nilai tuntutan finansial maksimum untuk setiap Sengketa, yaitu berupa kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya- biaya yang telah dikeluarkan Nasbah untuk menyelesaikan Sengketa; dan
e. Cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai kerugian immaterial.
Tugas publikasi ini di samping perlu dilaksanakan oleh setiap bank, menurut hemat Penulis hendaknya juga dilaksanakan oleh Bank Indonesia sejak dini melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan di bidang perbankan khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini perlu dilakukan mengingat masyarakat perlu memperoleh edukasi di bidang Mediasi Perbankan, sehingga nasabah riil maupun yang potensial (masyarakat yang belum menjadi nasabah bank) sejak awal telah mengetahui bahwa ada sarana yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya kerugian dalam hal melakukan transaksi keuangan dengan bank yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan impartial, serta memenuhi asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Lebih lanjut Penulis berpendapat bahwa ketentuan ini akan efektif jika klausula yang berisi perjanjian mediasi (agreement to mediate) tertulis dalam produk-produk yang diberikan oleh bank, misalnya pencantuman dalam klusula penyelesaian sengketa pada perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan bank atau pencantuman dalam rekening nasabah deposan.
Berdasarkan pada pemaparan di atas menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan melalui Mediasi Perbankan sudah memiliki tata cara dan prosedur yang jelas, walaupun memang kalau dilihat dari kaca mata teori pranata mediasi secara umum masih terdapat beberapa hal yang bertentangan sebagaimana tersebut di atas.
2. Kekuatan Hukum Hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan
Penyelesaian sengketa sebagaimana telah disinggung di muka termasuk hukum perjanjian, sehingga berlaku asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle). Para pihak bebas memilih forum dan hukum yang berlaku untuk penyelesaian sengketa yang terjadi di antara mereka. Hal serupa juga terdapat pada dunia perbankan, dimana para pihak yakni pihak bank dan nasabah mempunyai kebebasan untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang ada.
Salah satu forum alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perbankan adalah melalui Mediasi Perbankan. Sama dengan mediasi pada umumnya di sini juga terdapat pihak ketiga yang netral (mediator). Jika kita ikuti ketentuan dalam Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat kita katakan bahwa mediator dibedakan menjadi dua, yaitu:[17]
a. Mediator ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat (3))
b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (4) dimaksud, maka Mediator dalam Lembaga Mediasi Perbankan termasuk dalam Mediator yang ditunjuk oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang telah dipilih oleh para pihak. Karena Bank Indonesia yang saat ini sementara melaksanakan fungsi Mediasi Perbankan, maka mediator dimaksud adalah mediator yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Mengenai kekuatan hukum dari putusan mediasi dapat kita baca dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang intinya menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.[18]
Kalau kita kaji lebih dalam bahwa kekuatan mengikat hasil mediasi pada hakikatnya sama seperti undang-undang. Hal ini terjadi karena penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata intinya menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi di samping harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 harus dituangkan dalam bentuk Akta Kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank
Kemudian berdasarkan Pasal 12 PBI No 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa kesepakatan antara Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan Bank yang dihasilkan dari proses Mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank. Konsekuensi hukum setelah penandatangan Akta Kesepakatan, yaitu bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dan Bank. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 yang menyebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta Kesepakatan. Apabila pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan menjatuhkan hukuman kepada bank yang bersangkutan, yaitu sanksi administratif, mulai dari berupa denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan, pemberhentian pengurus bank dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, kesepakatan yang diperoleh dari Mediasi Perbankan mempunyai kekuatan hukum sehingga bagi para pihak wajib melaksanakannya dengan penuh itikad baik ( in good faith). Dalam hal pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan memberikan sanksi. Hal ini juga memberikan bukti, bahwa Mediasi Perbankan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mediasi pada umumnya.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis dan pembahasan mengenai penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah melalui lembaga Mediasi Perbankan di atas, Penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a. Mekanisme penyelesaian sengketa perbankan melalui forum Mediasi Perbankan sudah diatur melalui PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dan perubahannya berupa PBI No. 10/1/PBI/2008, kemudian secara teknis mendasarkan pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006.
b. Kekuatan hukum hasil Mediasi Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa intinya menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan apabila ditinjau dari PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan terdapat ketentuan yang memberikan kewajiban bagi bank untuk melaksanakan hasil mediasi sebagaimana yang tertuang dalam Akta Kesepakatan dan apabila pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia akan menjatuhkan hukuman kepada bank yang bersangkutan.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan ada beberapa saran yang dapat Penulis berikan, yaitu sebagai berikut:
a. Bank Indonesia perlu memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai keberadaan dan mekanisme penyelesaian sengketa melalui Lembaga Mediasi Perbankan. Pihak bank perlu membenahi format perjanjian standar yang ada dengan mencantumkan klausula yang berisi perjanjian mediasi (agreement to mediate) dalam produk-produknya.
b. Akta Kesepakatan yang berisi hasil mediasi dan menjadi kewajiban bank untuk melaksanakannya sebaiknya diberikan tenggang waktu yang jelas kapan bank harus sudah melaksanakan isi dari akta tersebut. Hal ini penting agar tidak memunculkan sengketa di kemudian hari terkait dengan pelaksanaan isi Akta Kesepakatan dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 April 2008.
Black, Henry Campbel, 1990, Black Law Dictionary (sixth edition), USA: St. West Publishing Co.
Falaakh, Mohammad Fajrul, 2007, Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia, Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007.
Goodpaster, Garry, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Jakarta: Elip.
Pramono, Nindyo, 2007, Lembaga Mediasi Perbankan Independen dan Mediasi Perbankan Oleh BI (Temporary), Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007
Suhardi, Gunarto, 2003, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta: Kanisius.
Usman, Rachmadi, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Wijaya, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 Perihal Mediasi Perbankan.
[1] Pengertian Bank secara normatif dapat dilihat Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[2] Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
[3] Pasal 24 UU No. 23 Tahun 1999 1999 tentang Bank Indonesia jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
[4] Gunarto Suhardi, 2003, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta: Kanisius, hal 111.
[5] Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 April 2008.
[6] Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 79.
[7] Henry Campbel Black, 1990, Black Law Dictionary (sixth edition), USA: St. West Publishing Co.
[8] Rachmadi Usman, Op.cit, hal 87.
[9] Nindyo Pramono, 2007, Lembaga Mediasi Perbankan Independen dan Mediasi Perbankan Oleh BI (Temporary), Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007, hal 3.
[10] Ibid.
[11] Garry Goodpaster, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Jakarta: Elips, hal 241.
[12] Pasal 3 ayat 2 dan 4 PBI No 8/5/PBI/2006 (ketentuan ini dihapus melalui PBI N0. 10/1/PBI/2008)
[13] Pasal 4 dan penjelasan PBI No 8/5/PBI/2006
[14] Mohammad Fajrul Falaakh, 2007, Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia, Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007, hal 5.
[15] Contoh mengenai format Agreement to Mediate terlampir dalam paper ini.
[16] Felix Oentoeng Soebagjo, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama MagĂster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.
[17] Gunawan Wijaya, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hal 93.
[18] Ibid, hal 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar