UPAYA HUKUM PEMERINTAH INDONESIA
UNTUK MENGHAPUS HAMBATAN NON TARIF (NON TARIFF BARRIER) DIKARENAKAN ADANYA KASUS AVIAN INFLUENZA
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perdagangan yang melintasi batas-batas negara sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Hal ini terjadi karena setiap negara memiliki potensi alam dan sosial budaya yang berbeda-beda sehingga satu dengan lainnya timbul saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Di abad XX muncul inisiatif dari beberapa negara untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur praktik perdagangan dengan tujuan menciptakan iklim perdagangan yang bebas dan sehat (free and fair trade) sehingga setiap negara berpeluang mendapatkan keuntungan ekonomis secara adil.
Adapun perjanjian internasional yang paling terkenal di bidang perdagangan ini adalah Agreement on Establishing World Trade Organization (WTO). Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing World Trade Organization (WTO) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mentaati seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, sedangkan konsekuensi internalnya bahwa Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dengan hasil kesepakatan dalam WTO.[1]
Tujuan WTO adalah meningkatkan standar hidup dan pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas (full employment), memperluas produksi dan perdagangan serta memanfaatkan secara optimal sumber kekayaan dunia.[2] Tujuan-tujuan tersebut diperluas pula guna melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:[3]
1. WTO memperkenalkan pemikiran “pembangunan berkelanjutan” (sustainable development) dalam pemanfaatan sumber kekayaan dunia dan kebutuhan untuk melindungi serta melestarikan lingkungan yang sesuai dengan tingkat-tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda-beda.
2. WTO mengakui adanya upaya-upaya positif guna mendapat kepastian bahwa negara-negara sedang berkembang, dan khususnya negara-negara kurang beruntung mendapatkan bagian perkembangan yang lebih baik dalam perdagangan internasional.
Fokus utama WTO pada dasarnya adalah untuk meminimalisir bahkan menghilangkan adanya hambatan bagi arus barang dari dan ke dalam negara-negara anggota. Hal ini mengingat adanya kebijakan dari negara-negara yang seringkali menghambat arus barang dimaksud. Hambatan dapat berupa hambatan tarif maupun hambatan selain tarif.
Hambatan tarif lebih mudah diprediksi (predictable), sedangkan hambatan nontarif sukar diprediksi. Hambatan selain tarif dalam kerangka GATT/WTO disebut Non Tariff Barier (NTB), yaitu tindakan dari negara-negara tertentu anggota WTO yang dengan maksud melindungi industri dalam negerinya, melakukan perlindungan-perlindungan tertentu yang dilakukan tidak dengan cara yang bersifat tariff measures. Adapun model-model perlindungan nontarif sangat beragam, antara lain sistem kuota; regulasi kesehatan, hewan, tanaman, hak buruh, hak asasi manusia, keamanan nasional; kurangnya transparansi; dan lain-lain.[4]
Kasus suspect flu burung (avian influenza) yang melanda Indonesia akhir-akhir ini berpotensi menimbulkan hambatan nontarif, khususnya bagi kegiatan ekspor unggas Indonesia ke negara lain. Hambatan nontarif seringkali terjadi karena adanya kebijakan dari Pemerintah dalam rangka keamanan dan kesehatan. Untuk itu, maka WTO mengaturnya melalui The WTO Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures atau yang lebih dikenal dengan SPS Agreement. SPS Agreement intinya adalah menegaskan kembali bahwa tidak ada anggota yang harus dihalangi untuk menetapkan dan menegakkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan ini tidak dilaksanakan dengan cara yang akan merupakan bentuk diskriminasi semena-mena dan yang tidak dapat dibenarkan antara para anggota dimana terdapat keadaan yang sama, maupun bentuk restriksi terselubung terhadap perdagangan internasional.[5]
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dalam kerangka WTO perlu diketahuai apakah adanya avian influenza menjadi halangan non tarif (Non Tariff Barrier/NTB) bagi ekspor unggas Indonesia ke negara lain dan bagaimana langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam hal avian influenza menjadi NTB.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, masalah teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah adanya avian influenza menjadi halangan non tarif (NTB) bagi ekspor unggas Indonesia?
2. Bagaimana langkah yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam hal avian influenza menjadi NTB?
C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Avian Influenza Menjadi Halangan NonTarif (Non Tariff Barier) Bagi Ekspor Unggas Indonesia
Perlindungan nontarif telah menjadi cara-cara proteksi perdagangan masa kini yang menggantikan sistem perlindungan lama melalui tarif yang berdasarkan semangat free trade, tetapi free trade yang terorganisir. Akan tetapi jelas bahwa perlindungan nontarif ini sebenarnya telah merusak tatanan perekonomian dunia, karena sulit dideteksi dan diukur.[6]
Terkait dengan hambatan nontarif (non tariff barrier) ini Ralph H. Folsom menyatakan bahwa:
There are numerous nontariff trade barriers applicable to imports. Many of these barriers arise out of safety and health regulations. Others concern the environtment, consumer protection, product standars and government procurement. Many of the relevan rules were created for legitimate consumer and public protection reasons.[7]
Berdasarkan pada pemaparan tersebut, maka munculnya hambatan nontarif seringkali disebabkan oleh adanya peraturan atau kebijakan dari pemerintah suatu negara untuk alasan keamanan dan kesehatan yang mungkin menyebabkan terjadinya proteksi yang terselubung. Dalam konteks GATT mengenai NTB ini telah mendapatkan pembahasan dalam berbagai putaran perundingan, yaitu mulai Kennedy Round, Tokyo Round, dan Uruguay Round. Beberapa contoh NTB yang terkenal adalah quota, subsidi, state trading enterprise, standar kualitas, syarat kesehatan dan keamanan.[8]
Merebaknya kasus suspect avian influenza atau flu burung juga menyebabkan terjadinya NTB. Hal ini terlihat misalnya adanya penolakan impor unggas ke negara Jepang.[9] Penolakan dimaksud karena masih adanya ketidakseriusan dan ketidakjelasan sikap pemerintah pada waktu itu dalam menangani kasus flu burung, padahal adanya flu burung berdampak serius bagi kesehatan manusia dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Untuk itu, maka semua negara berhak menetapkan dan menegakkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan ini tidak dilaksanakan dengan cara yang akan menjadi bentuk diskriminasi semena-mena dan tidak dapat dibenarkan antara para anggota dimana terdapat keadaan yang sama, maupun bentuk restriksi terselubung terhadap perdagangan internasional.
Ketentuan dimaksud tertuang dalam SPS Agreement yang intinya tidak boleh melanggar prinsip-prinsip dasar WTO yaitu prinsip nondiskriminasi berupa Most Favoured Nation Principle (MFN) dan menyebabkan terjadinya restriksi terselubung.
Flu burung atau Avian Influensa (AI) sesuai klasifikasi risiko oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia, masuk dalam kategori List A OIE sebagai penyakit fatal karena sifat zoonosis dan risiko kerugian ekonomi yang sangat besar bila dilihat dari aspek penularannya yang sangat cepat dan sangat virulen. Oleh sebabnya, sesuai ketentuan SPS bila suatu negara telah tertular virus flu burung berdasarkan rekomendasi Badan kesehatan Hewan Dunia (OIE) harus dinyatakan tertutup tidak diperbolehkan melakukan eksportasi unggas dan produknya. Sebaliknya negara import pun memiliki hak menolak semua jenis unggas dan produknya yang berasal dari negara tertular tersebut.[10]
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat ditegaskan bahwa adanya kasus supsect flu burung di Indonesia menjadi salah satu NTB terutama bagi masuknya produk unggas Indonesia ke negara lain. Untuk itu, maka diperlukan langkah konkrit dari Pemerintah dan masyarakat pada umumnya untuk menyelesaikan kasus dimaksud dengan tetap memperhatikan dan mengindahkan prinsip-prinsip dan ketentuan yang terdapat dalam WTO.
2. Langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam Hal Avian Influenza Menjadi NTB
Kasus flu burung juga pernah melanda negara Chile dan adanya menyebabkan terhambatnya kegiatan ekspor unggas negara tersebut ke Uni Erora (European Union/EU). Akan tetapi negara tersebut berhasil menempuh langkah-langkah internal sehingga pada akhirnya Chile berhasil mengeskpor kembali unggas ke EU. Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah Chile, di mana Indonesia juga bisa belajar darinya yaitu:[11]
1) Pada tataran politik dibentuk sebuah komite oleh Menteri Pertanian di bawah Sekertariat Departemen Pertanian dan penasehat-penasehat dari Departemen Pertanian, komite ini bertemu secara teratur dengan perwakilan industri dan asosiasinya dalam bidang unggas.
2) Pada tataran teknis dibentuk sebuah komite oleh Permanent Veterinary Staff yang terdiri dari seorang staf teknis di bidang industri unggas, staf-staf administrasi dari SAG, serta perwakilan dari para spesialis di bidang kesehatan unggas
3) Pada tataran operasional dibentuk sebuah struktur yang terdiri dari staf profesional dan teknis dari SAG dan spesialis yang dipekerjakan untuk tindakan operasional.
Masing-masing komite tersebut bekerja dengan optimal dengan tetap menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain di luar Chile, sehingga hasilnya menunjukkan bahwa pada tanggal 19 Desember 2002 Chile diumumkan oleh OIE bebas dari avian influenza dengan mendasarkan pada bukti-bukti ilmiah.[12]
Dalam kontek Indonesia, Pemerintah telah melakukan serangkaian upaya untuk keluar dari kasus flu burung, karena di samping memang membahayakan keselamatan jiwa manusia, dalam hal perdagangan dapat menjadi hambatan nontarif bagi kegiatan ekspor unggas Indonesia. Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1996 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza dan Inpres Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza).
Di latar belakangi oleh adanya perkembangan virus flu burung (avian influenza) di wilayah Indonesia yang menunjukkan peningkatan dan sudah mengarah pada tingkat yang sangat membahayakan, Presiden melalui Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza). Susbtansi dari Inpres tersebut yaitu:
PERTAMA : Sesuai lingkup tugas dan kewenangannya masing-masing:
a. meningkatkan intensitas dan melakukan langkah-langkah konkret dan efisien untuk penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza);
b. melakukan sosialisasi dan edukasi secara terus menerus mengenai bahaya dan penanggulangan virus flu burung (avian influenza) di daerah yang berisiko tinggi atau daerah endemik virus flu burung (avian influenza).
KEDUA : Para Gubernur dan Bupati/Walikota:
1. memimpin secara aktif penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza) di wilayahnya masing-masing dengan melibatkan semua komponen masyarakat;
2. memusnahkan unggas-unggas yang telah terkontaminasi atau yang dipelihara di permukiman penduduk di wilayah yang terindikasi atau diduga telah terjangkit virus flu burung (avian influenza) dan memberikan kompensasi yang wajar;
3. mengalokasikan dana untuk pelaksanaan penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza).
KETIGA :
Menteri Pertanian dan Menteri Kesehatan sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing melakukan upaya yang dipandang perlu untuk menangani dan mengendalikan virus flu burung (avian influenza) dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Palang Merah Indonesia (PMI).
KEEMPAT :
Panglima TNI melakukan operasi bakti untuk membantu Pemerintah Daerah dalam rangka menangani dan mengendalikan virus flu burung (avian influenza).
KELIMA :
Menteri Keuangan menyiapkan anggaran dan mengkoordinasikan serta mengoptimalkan pendanaan dalam rangka penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza) sebagaimana dimaksud dalam Instruksi Presiden ini.
KEENAM :
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (avian influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza:
a. membentuk satuan tugas dalam rangka penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza);
b. mengkoordinasikan pelaksanaan Instruksi Presiden ini.
KETUJUH :
Menyampaikan laporan implementasi penanganan dan pengendalian virus flu burung (avian influenza) setiap bulan kepada Presiden dan masyarakat luas.
KEDELAPAN :
Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan penuh tanggung jawab.
Pada tataran praktis Departemen Pertanian telah bekerjasama dengan Departemen Kesehatan untuk memantau kemungkinan adanya penularan AI ke manusia khususnya di daerah-daerah tertular melalui survei dan uji serologis pada manusia dengan hasil negatif AI. Langkah-langkah yang telah dilakukan yaitu:[13]
1) Sistem pelaporan dini (early warning system) yaitu melaporkan kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan terhadap setiap adanya kejadian penyakit dalam kesempatan pertama atau selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
2) Pengiriman sample dalam rangka peneguhan diagnosa penyebab penyakit ke laboratorium yang berwenang yaitu Balai Besar Veteriner/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional.
3) Pengamatan dan surveilans di seluruh wilayah masing-masing terutama di daerah padat populasi unggas dan daerah yang pernah terinfeksi AI sehingga setiap adanya laporan kejadian penyakit dapat dideteksi secara dini.
4) Melaksanakan kegiatan vaksinasi massal AI secara optimal terhadap seluruh unggas rakyat di wilayah masing-masing sesuai dengan surat Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No.:4141/SR.140/F.5/0704 tanggal 23 Juli 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Vaksinasi Massal Avian Influenza.
5) Koordinasi dengan seluruh pihak terkait, khususnya dengan masyarakat maupun organisasi bidang perunggasan di wilayah masing-masing.
6) Kesiagaan darurat terhadap timbulnya penyakit hewan menular.
7) Kecepatan dan ketepatan konfirmasi diagnosa.
8) Respons yang cepat dari Pemerintah Kabupaten/Kota khususnya otoritas kesehatan hewan.
9) Monitoring dan evaluasi setiap langkah pemerintah maupun swasta dalam pelaksanaan 9 (sembilan) strategi penanggulangan yang telah ditetapkan.
10) Pemotongan rantai penyebaran penyakit melalui pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas unggas dan produk unggas serta bahan ikutannya.
11) Kepemimpinan yang kuat dan komitmen dari Pemerintah Indonesia baik di tingkat nasional maupun propinsi/kabupaten/kota sangat esensial dalam pelaksanaan kampanye dan pengadaan dana penanggulangan wabah AI nasional.
Setelah melakukan langkah-langkah tersebut, mereka juga sudah menetapkan rencana tindak lanjut berupa:
1) Ditargetkan pada tahun 2007 Indonesia akan bebas kembali dari penyakit AI melalui penerapan langkah strategis penanggulangan mulai dari peningkatan biosekuriti, vaksinasi, depopulasi, pengawasan lalu lintas dan tindakan/langkah strategis lainnya.
2) Untuk itu program vaksinasi yang telah dilaksanakan akan terus dilakukan sampai tahun 2005, kemudian dilanjutkan dengan program surveilans pembebasan sampai tahun 2007.
3) Perlu diupayakan memproduksi vaksin AI inaktif menggunakan masterseed isolat virus AI yang low pathogenic untuk menggantikan vaksin yang digunakan sekarang. Untuk itu Balai Besar Veteriner dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner agar terus melakukan identifkasi isolat virus yang bersifat low pathhogenic.
4) Pemerintah (Pusat dan Daerah) akan terus mengupayakan ketersediaan anggaran yang diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan program pemberantasan wabah AI.
5) Untuk membantu pemerintah dalam program pengendalian dan pemberantasan wabah penyakit hewan menular seperti AI, perlu dipikirkan adanya "sharing" dana program pengendalian dan pemberantasan antara pemerintah, industri dan asosiasi serta pelaku usaha bidang peternakan.
6) Mengingat lalu lintas unggas dan produknya dari satu wilayah ke wilayah lainnya atau dari satu pulau ke pulau lainnya sangat berpotensi sebagai media penyebar avian influenza, maka peran dan fungsi karantina hewan terutama di pintu-pintu masuk sangat esensial. Begitu juga keberadaan dari institusi yang melakukan fungsi pembinaan dan pengaturan terhadap peternakan dan kesehatan hewan di propinsi/kabupaten/kota sangat penting, terutama dalam menggunakan kewenangannya untuk memastikan bahwa komoditi unggas yang dilalulintaskan harus memenuhi persyaratan kesehatan hewan yaitu berasal dari peternakan yang bebas AI sebagaimana ketentuan yang berlaku.
7) Kerjasama yang baik dan sinergis antara Pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan industri/pelaku usaha di bidang perunggasan yang selama ini terjalin diharapkan akan berjalan lebih baik lagi.
8) Dalam rangka mempertahankan status bebas AI di beberapa wilayah Indonesia diperlukan adanya kesiagaan dari semua stake holder, kemampuan early detection dan pelatihan bagi petugas teknis kesehatan hewan.
9) Perlu adanya pelaksanaan system hewan sentinel (sentinel herd) dan surveilans pada hewan sentinel yang dijadikan dasar dalam penetapan status bebas suatu zona/kompartemen.
10) Mengingat avian influenza merupakan penyakit baru di Indonesia dan untuk antisipasi masuknya penyakit eksotik lainnya serta penyebaran penyakit hewan menular dari satu wilayah ke wilayah atau dari satu pulau ke pulau lainnya, maka diperlukan eksistensi keberadaan institusi yang melakukan pembinaan, pengaturan terhadap peternakan dan kesehatan hewan di Propinsi/Kabupaten/Kota disertai ketersediaan tenaga teknis kesehatan hewan (dokter hewan dan paramedic veteriner).
11) Perlu adanya keseragaman waktu pengambilan sample untuk pemeriksaan titer antibody Avian Influenza, sehingga memberikan hasil yang dapat dipakai sebagai bahan evaluasi lanjutan (waktu pengambilan sample minimal setelah 4 minggu dari saat vaksinasi dilakukan).
12) Perlu dilakukan pengambilan sample serta pemeriksaan laboratorik dari populasi ternak unggas yang hanya menunjukkan gejala klinis berupa penurunan produksi telur untuk mendeteksi kemungkinan adanya kasus AI yang bersigat low pathog
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud diharapkan dapat menjadi bukti ilmiah, sehingga Indonesia akan mendapatkan pernyataan bebas flu burung dari OIE. Namun hingga paper ini dibuat Indonesia belum memperoleh pernyataan resmi dari OIE, sehingga kasus flu burung belum dapat terselesaikan secara tuntas.
Kalau kita melihat suspect flu burung ternyata tidak hanya melanda Indonesia, akan tetapi negara-negara lain. Untuk itu kaitannya dengan arus barang berupa unggas harus memperhatikan dan melaksanakan salah satu prinsip GATT/WTO yaitu Most Favoured Nation. Article I (1) GATT menyatakan bahwa:
With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in connection with importation or exportation ...and with respect to the method of levying such duties and charges...any advantage, favour, previlege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.
Dengan mengacu pada prinsip MFN, maka semua negara harus diperlakukan sama dan sederajat dalam rangka menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanan perdagangan yang diberlakukan oleh suatu negara. Jadi berdasarkan prinsip MFN suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan not less favourable terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lainnya.[14]
Prinsip MFN ini juga berlaku dalam hal suatu negara membuat peraturan atau kebijakan di bidang sanitary dan phytosanitary. SPS Agreement dalam ketentuan Pasal 2 (3) nya menyebutkan bahwa:
Para anggota harus memastikan bahwa tindakan-tindakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak menimbulkan diskriminasi semena-mena atau tidak beralasan antara para anggota di mana terdapat keadaan yang sama atau serupa, termasuk di antara wilayah mereka sendiri dan wilayah anggota lain. Tindakan-tindakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak boleh diterapkan dengan cara yang akan merupakan restriksi terselubung terhadap perdagangan internasional.
Kemudian terkait dengan hal ini Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) SPS Agreement menyebutkan bahwa:
Para anggota dapat memperkenalkan atau memiliki tindakan-tindakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan sifat perlindungan kesehatan manusia hewan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang lebih tinggi dari perlindungan yang akan diperoleh dengan pengaturan berdasarkan standar, pedoman, atau rekomendasi internasional jika hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, atau sebagai akibat dari tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang oleh suatu anggota ditentukan memakai sesuai dengan ketentuan yang relevan pada Pasal 5 ayat (1) ampai dengan ayat (8). Meskipun hal-hal di atas semua tindakan yang menghasilkan suatu tingkat perlindungan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan perlindungan yang dicapai dengan tindakan berdasarkan standar, pedoman atau rekomendasi internasional, tidak menyimpang dari setiap ketentuan lain dalam persetujuan ini.
Para anggota harus menerima tindakan-tindakan sanitary atau phytosnitary dari para anggota lain sebagai tindakan sepadan meskipun tindakan ini berbeda dengan tindakan mereka sendiri atau dengan tindakan yang digunakan para anggota lain yang berdagang dalam produk yang sama, jika anggota pengekspor menunjukkan kepada anggota pengimpor secara objektif bahwa peraturannya mencapai tingkat perlindungan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, yang layak bagi anggota pengimpor tersebut. Untuk tujuan ini, anggota pengimpor harus diberikan akses sewajarnya atas permintaan untuk mengadakan pemeriksaan, pengujian, dan prosedur lainnya yang relevan.
Pada akhirnya dapat ditekankan di sini bahwa langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia harus lebih dioptimalkan sehingga secara ilmiah dapat membuktikan bahwa Indonesia bebas dari flu burung. Dalam hal ekspor unggas kita di tolak oleh negara lain, sebaiknya Pemerintah meneliti apakah terhadap like product dari negara eksportir selain Indonesia juga di tolak. Kalau ekportir dari negara lain yang sama-sama suspect flu burung diterima, maka berdasarkan prinsip MFN eksportir Indonesia melalui instansi yang berwenang berhak mengajukan keberatan.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Avian influenza menjadi halangan nontarif (NTB) bagi ekspor unggas Indonesia.
2) Langkah yang seharusnya ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam hal avian influenza menjadi NTB berdasarkan Pasal 6 Ayat 3 SPS Agreement adalah perlunya mendapatkan bukti-bukti ilmiah untuk membuktikan bahwa Indonesia bebas dari flu burung atau setidak-tidaknya dalam tingkat yang rendah (free areas or areas of low pest or disease prevalence). Pernyataan bebas flu burung yang diberikan oleh OIE dapat menjadi dasar bagi Indonesia untuk melakukan kegiatan ekspor unggasnya kembali.
2. Saran-Saran
Berdasarkan pada kesimpulan tersebut Penulis memberikan saran-saran atau rekomendasi sebagai berikut:
1) NTB merupakan hambatan dalam perdagangan internasional yang sulit diprediksi sehingga perlu kecermatan dari para pihak untuk menyikapinya.
2) Pemerintah harus lebih serius dalam menangani kasus suspect flu burung ini dengan melakukan langkah-langkah konkrit untuk memperoleh pernyataan bebas flu burung dari OIE sehingga ekspor unggas Indonesia kembali berjalan lancar.
REFERENCE
Anonim, 2008, The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008.
Adolf, Huala, 1997, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
----------------, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Deptan, 2004, Rapat Koordinasi dan Evaluasi Nasional Penanggulangan Avian Influenza dengan tema "Menuju Indonesia Bebas Avian Influenza tahun 2007", pada tanggal 11-13 Oktober 2004 bertempat di Aula Pendopo Kabupaten Blitar, http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/, tanggal akses 22 Mei 2008
Fuady, Munir, 2004, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hawin, M., 2008, GATT/WTO, Bahan Ajar pada Kuliah GATT/WTO Program Pascasarjana Ilmu Hukum FH UGM.
Sukarmi, 2002, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Jakarta: Sinar Grafika.
The WTO Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures, www.wto.org, tanggal akses 23 Maret 2008.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1996 tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza.
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza).
[1] Sukarmi, 2002, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Jakarta: Sinar Grafika, hal v.
[2] Huala Adolf, 1997, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal 118.
[3] GATT Focus No. 107, May 1994, hal 11.
[4] Munir Fuady, 2004, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal 78.
[5] Lihat Konsideran SPS Agreement.
[6] Ibid., hal 79.
[7] Ralph H. Folsom, 1996, International Trade and Investment in A Nutshell, St. Paul Minn: West Publishing. Co, hal 93.
[8] M. Hawin, 2008, GATT/WTO, Bahan Ajar pada Kuliah GATT/WTO Program Pascasarjana Ilmu Hukum FH UGM, Yogyakarta, hal 7.
[9] Anonim, 2004, Jepang Tolak Unggas RI, Artikel pada Harian Suara Pembaruan.
[10] Terjemahan Bebas dari The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008.
[11] Terjemahan Bebas dari The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008.
[12] Anonim, 2008, The-Chile-EU Avian Influenza Problem, www.wto.org, tanggal akses 20 Mei 2008, hal 7.
[13] Deptan, 2004, Rapat Koordinasi dan Evaluasi Nasional Penanggulangan Avian Influenza dengan tema "Menuju Indonesia Bebas Avian Influenza tahun 2007", pada tanggal 11-13 Oktober 2004 bertempat di Aula Pendopo Kabupaten Blitar, http://www.deptan.go.id/pengumuman/berita/, tanggal akses 22 Mei 2008.
[14] Huala Adolf, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal 108-109.