Senin, 03 Maret 2008

IMPLEMENTATION OF GOOD CORPORATE GOVERNANCE PRINCIPLE IN ISLAMIC BANKING

IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE

SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PERBANKAN SYARIAH

Oleh: Khotibul Umam, S.H. Karina Dwi Nugrahati P, dan Sekar Ayu W

Perbankan Syariah sebagaimana halnya perbankan pada umumnya merupakan lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yakni lembaga yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat lain yang membutuhkan dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Sebagai lembaga keuangan bank merupakan institusi yang sarat dengan pengaturan sehingga dikatakan bahwa perbankan merupakan the most heavy regulated industry in the world. Adanya merupakan suatu keniscayaan mengingat bank merupakan lembaga yang eksistensinya sangat membutuhkan adanya kepercayaan masyarakat (fiduciary relation).

Unsur kepercayaan masyarakat terhadap perbankan merupakan suatu hal yang sangat esensial, sehingga bank perlu menjaganya untuk mencegah adanya rush atau penarikan dana masyarakat secara besar-besaran seperti halnya yang terjadi pada saat krisis moneter 1997 lalu. Pada waktu itu banyak bank yang kolaps, sehingga pemerintah terpaksa melakukan proses likuidasi terhadap sejumlah bank yang bermasalah. Sementara itu bank syariah yang ada pada waktu itu yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI) terbukti mampu bertahan dan termasuk bank dengan kategori sehat.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diharapkan mampu menata kembali sektor perbankan yang mengalami goncangan akibat krisis dan lebih penting lagi diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan di negeri ini. Kaitannya dengan Perbankan Syariah undang-undang ini lebih memberikan angin segar bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, karena undang-undang inilah yang secara tegas membedakan bank berdasarkan prinsip operasionalnya menjadi dua yaitu bank konvensional dan bank berdasarkan Prinsip Syariah. Adanya bank syariah di samping bank konvensional menandakan dimulainya era baru dalam sistem hukum perbankan nasional, yakni era sistem perbankan ganda (dual bangking system).

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa:

“Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Dengan melihat pada definisi ini, maka tersimpul bahwa disamping adanya ketentuan yang membolehkan pembentukan bank syariah murni, juga diperbolehkannya bank umum konvensional memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window. Untuk dapat memberikan layanan syariah ini terlebih dahulu bank konvensional dimaksud harus mendirikan sebuah Unit Usaha Syariah (UUS) terlebih dahulu. Sementara itu, untuk Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat memberikan layanan secara konvensional atau secara syariah, tidak boleh dua-duanya atau dengan kata lain menganut single window. Hal ini terlihat pada pengertian Bank Perkreditan Rakyat yang tertuang dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni:

“Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, secara hukum terdapat peluang yang besar bagi pengembangan sektor perbankan di Indonesia, dimana Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan juga telah mengeluarkan produk hukum yang secara khusus mengatur operasional Perbankan Syariah. Adapun produk hukum dimaksud yakni berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan lebih teknis lagi berupa Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), antara lain yaitu PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan terkait dengan judul artikel ini yaitu PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum.

Keunggulan Produk Perbankan Syariah

Pada dasarnya produk yang ada pada perbankan syariah sama dengan produk yang ada pada perbankan konvensional, yakni terdiri dari produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (lending), dan produk jasa (fee based product). Adapun yang membedakannya adalah bahwa pada produk yang ada di bank syariah tidak boleh mengandung unsur-unsur yang secara tegas dilarang dalam Islam, yaitu unsur perjudian (maisyir), unsur ketidakpastian (gharar), unsur bunga (riba), unsur suap-menyuap (rysiwah), dan unsur bathil. Sebagai gantinya dapat diterapkan akad-akad tradisional Islam atau yang lazim disebut prinsip syariah ke dalam produk perbankan dimaksud.

Nasabah yang berhubungan dengan bank syariah untuk memanfaatkan produk-produk yang ada di dalamnya dapat memanfaatkan produk sesuai dengan kebutuhan dan motif yang ada padanya. Hal ini berlaku baik pada produk penghimpunan dana (funding), produk penyaluran dana (lending), maupun produk di bidang jasa (fee based income product).

Untuk itu maka pihak bank syariah kaitannya dengan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tinggal melihat atau menanyakan kepada nasabah apa motif dibaliknya. Dalam hal nasabah menginginkan faktor keamanan (safety), maka bank dapat menawarkan produk berupa giro atau tabungan yang memakai prinsip titipan (wadiah). Dengan memilih giro wadiah atau tabungan wadiah, maka nasabah dapat mengambil uangnya sewaktu-waktu sejumlah yang ia simpan tanpa menanggung risiko akan kehilangan dananya, serta berpeluang mendapatkan bonus yang besarnya semata-mata berdasarkan kebijakan bank syariah yang bersangkutan. Namun apabila yang menjadi motif nasabah dalam menyimpan dana di bank syariah yang bersangkutan adalah dalam rangka mendapatkan keuntungan atau motif investasi, maka bank dapat menawarkan kepadanya produk berupa giro[1], tabungan[2], atau deposito[3] berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah). Melalui giro mudharabah, tabungan mudharabah, atau deposito mudharabah, maka nasabah berpeluang mendapatkan keuntungan dari uang yang disimpannya sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati di awal akad dikalikan dengan keuntungan bank, di samping itu nasabah juga menanggung risiko kehilangan uangnya baik sebagian atau seluruhnya jika bank syariah yang bersangkutan mengalami kegagalan dalam mengelola uang nasabah.

Hal yang sama juga terdapat pada produk penyaluran dana (lending). Kalau di bank konvensional mengenai produk penyaluran dana ini biasanya dalam bentuk kredit atau pinjaman (loan) yang didasarkan pada sistem bunga (interest based), maka produk penyaluran dana yang ada pada bank syariah lebih variatif dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan nyata dari nasabah.

Adapun mengenai motif nasabah dalam memanfaatkan produk penyaluran dana yang ada di bank syariah dan produk yang sesuai untuk motif dimaksud, yaitu sebagai berikut:

a. Nasabah membutuhkan dana untuk suatu kegiatan usaha atau tambahan dana untuk ekspansi kegiatan usaha. Bank syariah apabila menemukan nasabah yang membutuhkan dana untuk suatu kegiatan usaha prospektif maka setelah melalui studi kelayakan (feasibility study) nasabah dimaksud bisa diberikan pembiayaan dengan skim mudharabah dimana 100% (seratus persen) dana semata-mata berasal dari pihak bank. Sedangkan dalam hal bank syariah menemukan nasabah yang membutuhkan dana dalam rangka ekspansi usaha, maka setelah melalui studi kelayakan (feasibility study) nasabah dimaksud bisa diberikan pembiayaan dengan skim musyarakah, yakni pihak bank dan nasabah sama-sama menyertakan modal finansial di dalamnya.

b. Nasabah membutuhkan dana untuk pengadaan barang konsumsi atau barang produksi. Bank syariah apabila menemukan nasabah yang membutuhkan dana untuk kepentingan membeli barang konsumsi maupun barang produksi, maka akan lebih tepat jika bank syariah dimaksud setelah melalui studi kelayakan (feasibility study) memberikan pembiayaan yang didasarkan pada akad jual beli, yakni pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, atau pembiayaan istishna. Dengan pembiayaan murabahah berarti barang yang menjadi obyek perjanjian sudah ada, sedangkan pada pembiayaan salam/pembiayaan istishna barang yang menjadi obyek perjanjian belum ada sehingga perlu dipesan.

c. Nasabah yang hanya membutuhkan manfaat atas suatu barang. Bank syariah apabila menemukan nasabah yang berkeinginan menikmati manfaat atas suatu barang, maka tepat apabila bank syariah dimaksud setalah melakukan studi kelayakan (feasibility study) memberikan pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa, yakni berupa pembiayaan ijarah atau pembiayaan ijarah muntahia bittamlik (dalam hal nasabah berkeinginan memiliki barang tersebut di akhir masa sewa).

d. Nasabah membutuhkan pinjaman uang karena ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi seperti untuk biaya pengobatan di rumah sakit atau keperluan membayar hutang. Bank syariah apabila menemukan nasabah seperti ini, maka setelah melalui studi kelayakan (feasibility study), tepat jika padanya diberikan pembiayaan berdasarkan akan pinjam-meminjam, yakni pembiayaan qardh dan qardh al-hasan.

Sementara itu di bidang jasa, juga terdapat akad-akad tradisional Islam yang dapat diterapkan dalam produk perbankan, yaitu: akad wakalah untuk penerbitan Letter of Credit (L/C), akad hawalah untuk kegiatan anjak piutang (factoring), akad kafalah untuk produk bank garansi, dan akad rahn untuk gadai. Adapun kontra prestasi yang berhak diterima oleh bank syariah adalah berupa fee (ujrah).

Mengenai keluasan kegiatan usaha dan produk yang ada dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut di atas, secara lebih jelas dapat dilihat dalam bagan berikut:

Bagan Kegiatan Usaha dan Produk-produk Bank Syariah[4]

Berdasarkan pada pemaparan mengenai produk perbankan syariah di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa salah satu keunggulan produk-produk yang ada dalam industri perbankan syariah adalah tersedianya produk perbankan yang sangat variatif dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan nyata dari nasabah, baik nasabah deposan maupun nasabah debitur.

Sementara itu, Bank Indonesia melalui PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, memberikan kesempatan bagi bank-bank syariah untuk mengembangkan produk-produk dan jasa baru. Untuk kepentingan tersebut bank syariah yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan, dimana permohonan persetujuan atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan tersebut wajib dilampiri dengan fatwa dari Dewan Syariah Nasional.[5]

Dengan demikian terdapat peluang bagi pengembangan sektor perbankan syariah di Indonesia, mengingat secara hukum baik ditingkat undang-undang maupun peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sangat mendukung ke arah sana. Untuk itu yang terpenting saat ini adalah perlunya upaya peningkatan sumber daya manusia dari para bankir berupa peningkatan pemahaman akan aspek hukum dari perbankan syariah, baik itu pemahaman terhadap fikih ekonomi maupun pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah. Di samping itu mengingat bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang menekankan pada prinsip kepercayaan (fiduciary principle), maka dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah diperlukan adanya pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau yang lebih dikenal dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Urgensi Penerapan Prinsip Good Corporate Governance dalam Praktik Perbankan Syariah

Penerapan prinsip-prinsip GCG menjadi suatu keniscayaan bagi sebuah institusi, termasuk di dalamnya institusi bank syariah. Hal ini lebih ditujukan kepada adanya tanggung jawab publik (public accountability) berkaitan dengan kegiatan operasional bank yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam hukum positif seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya. Di samping itu juga berkaitan dengan kepatuhan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Quran, Hadis, dan Ijmak para ulama.[6]

Mengenai pengertian GCG dalam dunia perbankan dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum. Di situ disebutkan bahwa good corporate governance adalah tatakelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).

Dalam bagian penjelasan umum PBI No. 8/4/PBI/2006 dikemukakan mengenai arti dari setiap prinsip GCG tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pertama transparansi (transparancy) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

GCG pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki keunikan bila dibandingkan governance pada lembaga keuangan non-bank. Hal ini lebih disebabkan oleh kehadiran deposan sebagai suatu kelompok stakeholders yang kepentingannya harus diakomodir dan dijaga. Sementara itu khusus dalam perbankan syariah dikenal adanya prinsip-prinsip syariah yang mendukung bagi terlaksananya prinsip GCG dimaksud, yakni keharusan bagi subjek hukum termasuk bank untuk menerapkan prinsip kejujuran (shiddiq), edukasi kepada masyarakat (tabligh), kepercayaan (amanah), dan pengelolaan secara profesional (fathanah).

Corporate governance merupakan suatu konsepsi yang secara riil dijabarkan dalam bentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma dan etika yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadobsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi dampak moral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance. Sejumlah perangkat dasar yang diperlukan untuk pembentukan GCG pada bank syariah antara lain: sistem pengendalian intern, manajemen risiko, ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi, sistem akuntansi, mekanisme jaminan kepatuhan syariah, dan audit ekstern.[7]

Ditinjau secara yuridis bank syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders). Pihak dimaksud antara lain terdiri dari nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian penerapan GCG merupakan suatu kebutuhan bagi setiap bank syariah. Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban bank syariah kepada masyarakat bahwa suatu bank syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati (prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder's value) tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.

Pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance oleh sebuah bank, termasuk bank syariah paling tidak harus diwujudkan dalam:

a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Dewan Direksi;

b. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;

c. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;

d. Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;

e. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;

f. Rencana strategis bank;

g. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.

Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh bank paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu: Pertama, perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan (endorsement) dari otoritas fatwa dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam hal menentukan kehalalan atau kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syariah. Kedua, perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fikih dan syariah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.

Selain itu juga bagi para pemegang otoritas perbankan perlu mengantisipasi munculnya tantangan yang mungkin muncul terkait dengan implementasi GCG Bank Syariah di Indonesia. Untuk saat ini memang sebagian prinsip-prinsip GCG telah dipenuhi oleh bank-bank syariah, misalnya dengan telah dibentuknya aturan hukum dan kelembagaan khusus untuk bank syariah yang mengatur tentang struktur dan organisasi bank syariah, persyaratan pemilik dan pengurus, aturan dan mekanisme fit and proper test, kewajiban bank untuk membentuk satuan kerja audit intern, ketentuan disclosure, standard akutansi, dan penerapan manajemen risiko yang semuanya telah diatur secara detail dalam PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum.

Sebagai elemen pendukung bagi implementasi prinsip GCG pada bank syariah yakni adanya lembaga-lembaga lain, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), Lembaga Pengaduan Nasabah, Lembaga Mediasi Perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan terakhir adanya perluasan kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan agama dalam hal memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Penutup

Melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menunjukkan bahwa eksistensi perbankan syariah menjadi semakin kokoh. Hal ini juga didukung oleh adanya sejumlah PBI dan SEBI yang secara khusus menjadi dasar bagi kelembagaan, operasional kegiatan usaha, dan produk perbankan syariah. Mengenai produk sudah jelas bahwa di bank syariah memiliki keunggulan dibanding produk pada bank konvensional ditinjau dari segi prinsip yang digunakan dan variasi produk yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan nyata dari para nasabah dan calon nasabahnya. Terakhir dan sangat penting untuk menjadi perhatian kita adalah bahwa perbankan syariah sebagai lembaga keuangan eksistensinya sangat membutuhkan adanya kepercayaan dari masyarakat. Untuk itu maka diperlukan adanya upaya secara berkesinambungan dari bank syariah untuk melaksanakan prinsip-prinsip GCG. Dengan optimalnya pelaksanaan prinsip GCG ini, maka diharapkan dalam operasional bank, pihak bankir juga dapat melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking) sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan syariah di Indonesia.

Reference:

Anshori, Abdul Ghofur, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Farouk, Peri Umar, 2006, Perspektif Hukum Positif atas Kelembagaan, Operasional, dan Pengembangan Produk Perbankan Syariah, Makalah pada Pelatihan Aspek Legal Perbankan Syariah, diselenggarakan Bagian Hukum Islam dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 26 Agustus 2006.

Ilyas, Nasirwan, 2006, Seputar Isu Corporate Governance dalam Bank Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentaralan, Jakarta : www.bi.go.id, tanggal akses 24 November 2007.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum.



[1] Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan.

[2] Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

[3] Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank.

[4] Peri Umar Farouk, 2006, Perspektif Hukum Positif atas Kelembagaan, Operasional, dan Pengembangan Produk Perbankan Syariah, Makalah pada Pelatihan Aspek Legal Perbankan Syariah, diselenggarakan Bagian Hukum Islam dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 26 Agustus 2006.

[5] Lihat Pasal 38 PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

[6] Abdul Ghofur Anshori, 2007, Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal 172.

[7] Nasirwan Ilyas, 2006, Seputar Isu Corporate Governance dalam Bank Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentaralan, Jakarta : www.bi.go.id, tanggal akses 24 November 2007.

2 komentar:

MasNovanJogja mengatakan...

panjaaaaaaaaaaaaaaang abis..hehehe

Afra Afra mengatakan...

Bagus...
Cm saran dkit, mgk lain kali anda hrs menyebutkan jg nama penulis lain yg satu tim dgn anda, krn sy tau betul ada di antara tulisan tsb yg tdk anda tulis sendiri, melainkan dlm tim.
Wlupun sy yakin anda mampu menulisnya sendiri.
Trims.. Peace:-)