CATATAN KRITIS
TERHADAP PBI NO. 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
DAN REKOMENDASI DALAM IMPLEMENTASINYA KE DEPAN
Oleh: Khotibul Umam, S.H.
Sektor Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen pembangunan (agent of development), karena bank merupakan lembaga keuangan yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Di samping itu perbankan juga merupakan agen kepercayaan (agent of trust) mengingat adanya salah satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip kepercayaan (fiduciary relation).
Walaupun hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabahnya didasarkan pada prinsip kepercayaan, akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat dihindarkan adanya sengketa (dispute) antara nasabah dan pihak bank. Hal ini berawal dengan terjadinya komplain yang diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank. Di sisi lain terkadang ada bank yang kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau bahkan mengabaikannya. Padahal bank memiliki kewajiban untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Lembaga Pengaduan Nasabah berada pada internal bank yang bersangkutan, sehingga penyelesaiannya merupakan kebijakan bank dimana nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Ketika nasabah menerima putusan yang diberikan oleh bank tersebut, maka permasalahan selesai. Akan tetapi terkadang ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak memberikan solusi seperti yang diinginkannya, sehingga berbagai cara akan ditempuh antara lain melaporkan kepada Lembaga Konsumen, Lembaga Ombudsman, mengajukan gugatan secara perdata, bahkan terkadang ada nasabah yang melaporkan bank kepada polisi. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian melalui lembaga-lembaga tersebut seringkali berlarut-larut dan terlalu prosedural sehingga harapan kedua belah pihak untuk memperoleh solusi terbaik secara sederhana, murah, dan cepat belum tentu dapat tercapai.
Berdasarkan pada kondisi dimaksud maka diperlukan sebuah lembaga penyelesaian sengketa alternatif (alternatif dispute resolution) yang mampu melaksanakan fungsi dispute settlement yang bersifat win-win solution, sehingga dapat lebih memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa secara proporsional.
Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak adalah mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi bagi para pihak yang sedang bersengketa.
Khusus untuk perbankan mengenai mediasi ini diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank.[1] Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).
Beberapa Catatan Kritis Terhadap PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan
Mengenai Mediasi Perbankan sebagaimana diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 pada kenyataanya masih menimbulkan beberapa pertanyaan dan permasalahan yang perlu diantisipasi dalam implementasinya ke depan. Untuk itu akan dikemukakan beberapa catatan kritis dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank, serta konsepsi ke depan yang terkait dengan Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI). Beberapa catatan dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk melaksanakan fungsi mediasi perbankan ini nantinya akan dilakukan oleh LMPI yang dibentuk asosiasi perbankan selambat-lambatnya 31 Desember 2007.[2] Sepanjang LMPI belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Pembentukan LMPI ini menurut pendapat Penulis perlu melibatkan Bank Indonesia, karena apabila sepenuhnya diserahkan kepada asosiasi perbankan tanpa campur tangan Bank Indonesia akan sulit terwujud mengingat pendirian LMPI ini tidak mudah terutama menyangkut eksistensi LMPI sebagai lembaga mediasi dikaitkan dengan fungsinya sebagai mediator antara bank dan nasabah. Keterlibatan Bank Indonesia dalam pembentukan LMPI ini juga memudahkan koordinasi antara Bank Indonesia dengan LMPI yang terbentuk sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 3 ayat (3) PBI No. 8/5/PBI/2006. Meskipun pembentukannya melibatkan BI akan tetapi hendaknya dalam pelaksanaan tugasnya harus tetap independen dan mengenai pertanggungjawabannya hendaknya ditujukan kepada publik (public responsibility).
Kedua, fungsi mediasi perbankan yang saat ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia, terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa yang terjadi secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Dalam rangka melaksanakan fungsi Mediasi perbankan sebagaimana dimaksud, Bank Indonesia menunjuk Mediator yang memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk bisa menjadi mediator sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni: memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan, dan atau hukum; tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas penyelesaian sengketa; dan tidak memiliki hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Dalam bagian ini dirasakan masih perlu mendapatkan pengaturan mengenai seleksi mediator dan mekanisme penerimaan mediator, tata kerja mediator, hak dan kewajiban mediator. Hal ini penting adanya mengingat kemampuan mediator dalam menjalankan fungsinya akan sangat mempengaruhi eksistensi LMPI, yakni terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap kapabilitas dan integritas LMPI.
Ketiga, terkait dengan sengketa yang dapat diajukan kepada Bank Indonesia/LMPI adalah sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan bukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immateriil.[3]
Hal ini tentu saja masih menimbulkan pertanyaan bagaimana apabila ada kerugian nasabah di atas Rp. 500 juta? Jika hal ini tidak diakomodir berarti masih terbuka kemungkinan sengketa diselesaikan melalui jalur di luar LMPI. Penulis lebih mengacu pada filosofi pembentukan LMPI itu sendiri, yakni bahwa diperlukan penyelesaian sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank yang dilakukan secara sederhana, murah, dan cepat. Karena penyelesaian sengketa yang berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan risiko reputasi bagi bank, untuk itu perlu dipikirkan mengenai kemungkinan bahwa di atas Rp. 500 juta, nasabah masih diperkenankan mengajukan permohonan penyelesaian sengketa yang terjadi ke LMPI atau untuk saat ini ke Bank Indonesia.
Keempat, bahwa pengajuan penyelesaian sengketa dalam rangka Mediasi Perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah. Kemudian dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.
Catatan yang dapat diberikan adalah bahwa kesediaan bank untuk datang atau tidak sangat tergantung pada organisasi LMPI. Apabila LMPI masih terkait dengan Bank Indonesia maka dapat dipastikan bank akan patuh pada panggilan LMPI namun apabila LMPI ini tidak terkait dengan Bank Indonesia potensi bank mengabaikan panggilan LMPI sangat besar. Oleh sebab itu ketidakpatuhan bank memenuhi panggilan LMPI tidak hanya cukup dikenakan sanksi administratif seperti yang diatur dalam Pasal 16 PBI ini, namun juga diperlukan adanya sanksi berupa denda sebagaimana halnya yang saat ini diterapkan Bank Indonesia dalam hal bank terlambat dan atau tidak melaporkan dan atau salah dalam membuat pelaporan mengenai pengelolaan bank yang bersangkutan ke Bank Indonesia (denda langsung di debet dari rekening bank).
Kelima, ketentuan mengenai pengajuan sengketa paling lambat 60 hari kerja sejak tanggal hasil penyelesaian pengaduan disampaikan bank kepada nasabah.[4] Di sini perlu dibuat alternatif seandainya bank tidak memberikan jawaban secara tertulis kepada nasabah atau bank tidak menanggapi keluhan nasabah dalam rangka pengaduan nasabah secara tertulis. Hal ini sangat penting mengingat dalam praktik keluhan-keluhan nasabah umumnya ditanggapi secara lisan oleh bank, atau bahkan tidak ditanggapi sama sekali. Dalam hal tidak ditanggapi apakah berarti proses pengaduan dianggap telah ditempuh, sehingga nasabah secara hukum bisa mengajukan permasalahannya kepada LMPI atau untuk saat ini ke Bank Indonesia.
Keenam, bahwa dalam Pasal 9 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat: Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kemudian Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.
Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa perlu pengaturan dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate), padahal nasabah telah melakukan pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap penyelesian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Untuk itu disini diusulkan agar sejak semula para pihak sudah setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan dana dapat disertakan pada buku rekening simpanan nasabah bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan setelah terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah. Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai mandatory mediation[5] yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan penyelesaian sengketa (Vide Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat untuk melaksanakannya semata-mata karena memang diperjanjikan (asas pacta sunt servanda).
Ketujuh, dalam Pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta Kesepakatan. Di sini sebaiknya diatur tenggang waktu kapan bank harus memenuhi atau mentaati Akta Kesepakatan tersebut sekaligus sanksi apa yang akan dikenakan terhadap bank, apabila bank ternyata tidak memenuhi dan atau terlambat dalam memenuhi hal-hal yang telah disepakati dalam Akta dimaksud.
Kedelapan, Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di bidang perbankan dengan cara Mediasi kepada Nasabah. Tugas publikasi ini di samping perlu dilaksanakan oleh setiap bank, menurut hemat penulis hendaknya juga dilaksanakan oleh Bank Indonesia sejak dini melalui proses sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan di bidang perbankan khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini perlu dilakukan mengingat masyarakat perlu memperoleh edukasi di bidang Mediasi Perbankan, sehingga nasabah riil maupun yang potensial (masyarakat yang belum menjadi nasabah bank) sejak awal telah mengetahui bahwa ada sarana yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya kerugian dalam hal melakukan transaksi keuangan dengan bank yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan impartial, serta memenuhi asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Rekomendasi Kedepan terhadap Eksistensi Lembaga Mediasi Perbankan di Indonesia
Berdasarkan pada pemaparan di atas beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita semua terkait PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dalam implementasinya ke depan, yaitu sebagai berikut:
1. Keberadaan LMPI sangat dibutuhkan dalam praktik perbankan di Indonesia terutama sebagai upaya melindungi nasabah dan bank sehingga LMPI harus segera mungkin dibentuk. Adapun pembentukan LMPI sebaiknya jangan diserahkan sepenuhnya kepada organisasi bank/asosiasi perbankan tanpa campur tangan Bank Indonesia atau dengan kata lain bahwa pembentukan LMPI lebih baik dilakukan bersama-sama oleh Bank Indonesia dengan Asosiasi Perbankan. Namun perlu ditekankan bahwa meskipun LMPI nantinya dibentuk secara bersama-sama oleh Bank Indonesia dan Asosasi Perbankan, akan tetapi sifatnya harus tetap independen dalam artian perlu adanya mekanisme agar LMPI yang sudah terbentuk bebas dari intervensi dari Bank Indonesia maupun Asosiasi Perbankan yang ada.
2. Masih diperlukannya pengaturan lebih rinci mengenai tugas LMPI, hak dan kewajibannya, tata cara rekruitmen mediator, pembiayaan, dan sebagainya.
3. Penentuan mengenai nilai nominal sengketa yang dapat diajukan kepada Bank Indonesia/LMPI seyoganya tidak strict sebagaimana yang tertuang dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
4. Sanksi bagi bank yang tidak mematuhi ketentuan tentang kewajiban memenuhi panggilan dari Bank Indoensia atau LMPI tidak hanya administratif, tetapi juga perlu ada sanksi berupa denda seperti yang diterapkan Bank Indonesia kepada bank-bank yang terlambat membuat pelaporan dengan cara mendebet langsung dari rekening bank yang bersangkutan.
5. Perlu menjadi pertimbangan dalam rangka memenuhi asas penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan biaya ringan berupa pemberian kebebasan para pihak untuk memilih forum penyelesaian sengketa. Misalnya dengan membuat mediation clause berupa penunjukan LMPI, tanpa terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah yang pada praktiknya tidak selalu memuaskan nasabah. Di samping itu karena dalam hal penyelesaian sengketa ini pada prinsipnya tunduk pada hukum perjanjian yang menganut sistem terbuka (open system) yakni Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUHPerdata
6. Kekuatan mengikat dari hasil mediasi yang pada hakikatnya merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah dapat mendasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang intinya menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi disamping memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 harus dituangkan dalam bentuk Akta Kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank. Sehingga yang perlu dipikirkan adalah mengenai sanksi dalam hal terdapat salah satu pihak yang tidak mau secara sukarela melaksanakannya berikut upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak berhubung tidak dilaksanakannya hasil proses mediasi perbankan, misalnya dengan menganggap bahwa yang bersangkutan wanprestasi sehingga bisa dituntut pembayaran ganti kerugian.
7. Perlu dipikirkan supaya LMPI juga melayani bank yang kemungkinan dirugikan oleh nasabahnya. Hal ini juga untuk menegaskan bahwa bank sebenarnya merupakan pihak dalam proses mediasi yang berpotensi menderita kerugian finansial dalam kegiatan transaksi keuangan dengan nasabah.
8. Pelaksanaan fungsi edukasi masyarakat terhadap perbankan, khususnya mediasi perbankan perlu segera dilaksanakan oleh semua bank.
Daftar Pustaka:
Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 November 2007.
Soebagjo, Felix Oentoeng, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama Magíster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
[1] Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 November 2007.
[2] Lihat Pasal 3 ayat (1) dan (2) PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
[3] Lihat Pasal 6 ayat (1) dan (2) PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan
[4] Lihat Pasal 8 ayat (6) dan (2) PBI No. 8/5/PBI/2006
[5] Felix Oentoeng Soebagjo, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama Magíster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.