Selasa, 05 Mei 2009

ISLAM SEBAGAI SUMBER PEMBANGUNAN HUKUM DALAM RANGKA MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT

Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin). Oleh karenanya sifat dari ajaran Islam adalah komprehensif dan universal. Semua aspek kehidupan manusia tidak luput dari aturan Islam, karena Islam juga merupakan agama hukum yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Allah Tuhannya sekaligus hubungan antara manusia dengan manusia lain dan alam sekitarnya.

Berlakunya hukum agama dalam kehidupan bernegara sangat tergantung pada kebijakan yang diambil penguasa negara di bidang pembangunan hukum nasionalnya masing-masing. Ada negara yang dalam konstitusinya menyebutkan bahwa hukum agama tertentu berlaku, namun di sisi lain terdapat negara yang secara tegas-tegas memisahkan antara negara dan agama atau yang lazim dikenal sebagai negara sekuler. Berkaitan dengan hal ini dalam konteks Indonesia ditegaskan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud yang terkandung di dalamnya adalah bahwa Indonesia bukan negara yang didasarkan pada agama tertentu, namun juga bukan negara sekuler, melainkan negara yang mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Alenia IV Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas disebutkan mengenai tujuan negara, yakni:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka ....”

Realisasi dari tujuan tersebut adalah melalui kegiatan pembangunan nasional. Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di bidang tertentu tidak boleh mengabaikan bidang yang lain. Pembangunan ekonomi sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan rakyat hendaknya dilakukan bersamaan dengan pembangunan hukum. Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat merupakan sumber hukum materiil bagi pembangunan hukum, khususnya di Indonesia.

Berdasarkan pada pemikiran tersebut bagaimana eksistensi Hukum Islam sebagai sumber pembangunan sistem hukum dan implementasinya bagi upaya mensukseskan pembangunan nasional akan menjadi bahasan dalam makalah ini. Pendekatan histroris (historical approach) dan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) akan dipakai dalam membahas permasalahan dimaksud.

EKSISTENSI HUKUM ISLAM SEBAGAI SUMBER PEMBANGUNAN SISTEM HUKUM NASIONAL

Sistem merupakan tatanan atau kesatuan utuh yang terstruktur terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain, yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan.[1]

Dalam ilmu hukum dijumpai faham yang mengemukakan bahwa pemanfaatan hukum untuk tujuan tertentu. Dalam tataran praksis sebagai contoh, peran sekaligus fungsi hukum dapat dilihat dalam hubungannya dengan kebijakan negara (state policy). Roscoe Pound (1870-1964) mengemukakan bahwa Law as a Tool of Social Engineering, intinya bahwa hukum mempunyai fungsi sosial yang besar untuk merubah suatu masyarakat ke arah yang lebih baik.[2]

Lebih lanjut Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum dipergunakan untuk menjamin kepentingan (interests) dengan tiga kategori utama (a) public interest; (b) individual ineterests; dan (c) social interests. Konsep ini dianut di Indonesia dan diartikan sebagai sarana pembaharuan (pembangunan masyarakat).[3]

Efektivitas hukum sebagai alat perubahan akan lebih banyak tampak pada bidang-bidang kehidupan yang netral. Dengan kata lain, hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat akan lebih efektif apabila diterapkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang tidak mengatur kebutuhan-kebutuhan pokok dari warga masyarakat secara pribadi.[4] Hukum yang fungsional dapat tersusun, apabila hukum tadi dapat berfungsi sebagai alat sistem pengendalian sosial dan sebagai alat untuk mengadakan social-engineering.[5]

Kemudian Teori Kesejarahan (Historical School) mengajarkan bahwa hukum bukanlah sesuatu yang diciptakan tetapi tumbuh sejalan dan seiring dengan kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dibentuk oleh berbagai faktor seperti kepercayaan atau keyakinan, ideologis, sistem sosial budaya, dan lain-lain.[6] Salah satu tokoh hukum dari Mazhab Historis, yakni Von Savigny menyatakan bahwa hukum mengikuti volkgeist (jiwa hukum masyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa realitas perkembangan hukum berbanding lurus dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat.

Pemikiran mengenai pembangunan hukum Indonesia telah dilontarkan oleh para ahli hukum nasional. Sebagai contoh Prof. Djojodigoeno yang mengartikan hukum sebagai suatu karya yang bersifat pengugeran terhadap tingkah laku dan perbuatan para anggotanya yang bertujuan pada tata, keadilan, dan masyarakat yang menjadi pendukungnya. Menurut Beliau hukum merupakan hasil dari sifat kebudayaan, sedangkan kebudayaan mempunyai sifat langgeng tansah owah gingsir (kekal dan selalu berubah). Beliau pernah mengeluarkan ide mengenai pencabutan kodifikasi hukum kolonial dan diganti dengan yang baru.

Prof. Suhardi mengemukakan bahwa negara bukanlah religion institution, melainkan human institution belaka yang ruang kerjanya terletak pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang semuanya itu harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Prof. Muchsan pernah mengusulkan untuk mengganti sistem peradilan di Indonesia dengan sistem juri di Amerika, Beliau menyatakan bahwa Indonesia tidak seperti Belanda yang kontinental. Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki 19 lingkungan hukum adat sehingga sistem hukum yang tepat adalah sistem hukum Anglo Saxon. Kemudian Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan gagasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) agar hukum menjadi dinamis.[7]

Secara faktual bahwa sistem hukum di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan. Hal ini dapat diketahui pada produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan nilai religius, misalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.[8]

Nilai Ketuhanan berupa nilai agama merupakan nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional.

Terdapat beberapa ahli hukum yang sudah memberikan pemikirannya tentang sistem hukum Indonesia yang berdimensi Ketuhanan. Qodri Azizy menawarkan konsep eklektisisme hukum nasional. Eklektisisme diartikan sebagai suatu sistem (agama atau filsafat) yang dibentuk dengan secara kritis memilih dari pelbagai sumber dan doktrin. Membentuk hukum nasional dengan secara kritis memilih unsur-unsur dari doktrin hukum yang memang berlaku di Indonesia. Qodri Azizy menolak adanya dikotomi hukum yakni antara hukum Islam dengan hukum positif. Inti yang dikemukakan oleh Qodri Azizy adalah bahwa hukum Islam dapat menjadi hukum nasional, bukan hanya melalui pendekatan normatif, namun juga akademik dan analisis. Hukum Islam yang mempunyai janji untuk menegakkan dan mewujudkan kemaslahatan umat semestinya harus mampu mengisi hukum nasional. Qodri Azizy memperingatkan dengan mempertegas konsepsi hukum Islam itu sendiri untuk menghindari kesalahfahaman atas apa yang dimaksud.[9]

Sebelumnya terdapat Prof. Hasby Ash-Shideqy yang menggagas Fikih Indonesia, Prof. Hazairin menggagas Madzhab Hukum Nasional, K.H. Ali Yafie menggagas Fikih Sosial, dan Prof. Bustanul Arifin dengan konsep pelembagaan hukum Islam di Indonesia. Pemikiran mereka dapat dikatakan sebagai embrio pembangunan sistem hukum Indonesia yang lebih menekankan pada inklusifitas dan meninggalkan eksklusifitas hukum Islam. Mereka tidak menghendaki pengkotak-kotakan hukum, bahkan untuk hukum Islam sendiri. Secara khusus disadari bahwa hukum Islam dengan pranata fikihnya dapat menjelma dan beradaptasi dalam wujudnya yang berbeda pada suatu saat dan pada masyarakat tertentu, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Adapun responsibilitas dan adaptabilitas hukum Islam ini telah dibuktikan, misalnya dalam hukum waris dan hukum perkawinan.

Perkembangan yang signifikan di bidang hukum kaitannya dengan keberadaaan Hukum Islam terjadi di bidang ekonomi. Hal ini dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (1991) dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengintrodusir Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Kemudian dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengakui keberadaan Bank Berdasarkan Prinsip Syariah di samping Bank Konvensional yang mendasarkan pengelolaanya pada bunga.

Perkembangan berikutnya, karena adanya kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah yang semakin meningkat, dimana perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional, maka timbul pemikiran agar terhadapnya perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang sendiri. Hal ini lah yang melatarbelakangi diundangkannya Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Terdapat beberapa lembaga hukum baru dan ketentuan baru yang tertuang dalam undang-undang ini. Kesemuanya ditujukan untuk memberikan landasan hukum yang kokoh sekaligus memberikan pijakan menuju perbankan syariah Indonesia yang mampu bersaing secara global dan lebih taat terhadap prinsip syariah.

IMPLEMENTASI HUKUM EKONOMI ISLAM BAGI SUKSESNYA PEMBANGUNAN NASIONAL

Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen pembangunan (agent of development). Hal ini didasari oleh fungsi strategis bank sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[10]

Sistem perbankan di Indonesia semula menerapkan bunga sebagai bentuk prestasi dan kontraprestasi atas produk-produk yang diberikan kepada masyarakat. Di sisi lain banyak warga masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim belum memanfaatkan jasa perbankan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah karena dalam sistem perbankan yang telah ada dan sedang berjalan menggunakan instrumen bunga yang oleh sebagian besar Ulama dipersamakan dengan riba, dimana hukum riba adalah haram.

Menyikapi hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan lokakarya di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990 tentang bunga bank. Dalam lokakarya tersebut memunculkan dua pandangan yang berbeda terhadap bunga bank. Pandangan pertama berpendapat bahwa bunga bank itu riba dan oleh karena itu hukumnya haram, kemudian pandangan kedua berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba dan oleh karena itu hukumnya halal. Meskipun diakui oleh lokakarya bahwa pandangan kedua tersebut adalah “rukhshah” (penyimpangan) dari ketentuan baku, namun dengan melihat kenyataan hidup yang ada dan untuk menghindari kesulitan (musyaqqah) karena sebagian umat Islam terlibat dalam sistem bunga bank, maka hal itu dimungkinkan untuk ditempuh sepanjang dipastikan adanya kebutuhan umum demi kelanjutan pembangunan nasional.[11]

Keberatan Islam terhadap sistem konvensional bukan hanya dalam hal bunga, akan tetapi juga karena di dalamnya terdapat unsur-unsur lain yang dilarang, yakni unsur perjudian (maisyir), ketidakpastian (gharar), dan bathil. Islam memberikan alternatif bagi kegiatan usaha lembaga keuangan dengan menerapkan akad-akad tradisional Islam. Berbicara mengenai penerapan akad-akad tradisional Islam dalam lembaga keuangan, berarti kita masuk dalam ranah Hukum Ekonomi Islam.

Secara yuridis, implementasi Hukum Ekonomi Islam di Indonesia memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan ini pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:[12]

1. Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

2. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;

3. Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.

Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam pasal tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Melalui Pasal 29 UUD 1945 ini negara pada hakikatnya mengakui berlakunya hukum Agama bagi pemeluknya masing-masing. Hal ini juga didukung oleh tafsiran Hazairin yang menyatakan bahwa Negara wajib menjalankan syariat agama yang dipeluk oleh Bangsa Indonesia, bagi kepentingan mereka, termasuk menjalankan syariat Islam bagi kepentingan orang Islam. Lebih lanjut Beliau tegaskan bahwa negara tidak boleh membuat peraturan (hukum) yang bertentangan dengan syariat suatu agama bagi pemeluknya.[13]

Hukum ekonomi Islam secara prinsip tertuang dalam sumber hukum Islam, yakni al-Quran, al-Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Kedudukannya dalam hukum positif termasuk dalam kategori hukum tidak tertulis sehingga ketaatan setiap subyek hukum terhadapnya lebih didasarkan karena hukum Islam termasuk sebagai hukum yang hidup (living law).[14]

Positivisasi hukum Islam di bidang hukum ekonomi, khususnya di bidang hukum perbankan dimulai tahun 1992 yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Perbankan ini memperkenalkan istilah Bank Bagi Hasil untuk bank yang tidak mendasarkan pada bunga (interest free banking).

Istilah prinsip syariah dalam perbankan baru muncul sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian sejak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 inilah eksistensi perbankan syariah diakui keberadaannya dalam sistem perbankan nasional. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ini pula yang memberikan kesempatan bagi Bank Umum Konvensional untuk memberikan layanan syariah dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) di Kantor Pusatnya.

Hukum Ekonomi Islam, khususnya penerapannya dalam perbankan mendapatkan legitimasinya secara lebih kokoh melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008. Undang-undang ini secara filosofis di latar belakangi oleh adanya tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi dan dikembangkannya sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah.[15]

Berdasarkan pada pemaparan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa penerapan Hukum Ekonomi Islam dalam operasional sistem perbankan di Indonesia telah mendapatkan dasar hukum yang kokoh. Oleh karena itu sinergisitas peran Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia, serta Perbankan pada umumnya perlu ditingkatkan demi efektifnya peraturan perundang-undangan di bidang perbankan syariah ini.

Implementasi Hukum Ekonomi Islam dalam sistem perbankan di Indonesia akan dikemukakan dalam bagian berikut. Pembahasannya meliputi: (1) Prinsip Syariah dalam Peraturan Perundang-undangan; dan (2) Implementasi Prinsip Syariah dalam Produk Perbankan.

1. Prinsip Syariah dalam Peraturan Perundang-undangan

Pengertian prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan pertama kali dikemukakan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).[16]

Pengertian Prinsip Syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu prinsip syariah dan implementasinya dalam praktik perbankan terkait dengan rukun dan syaratnya dapat berpedoman pada berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang terkait dengan Perbankan Syariah.

Di era Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 juga diatur bahwa dalam rangka mengimplementasikan fatwa DSN-MUI ke dalam PBI, diperlukan masukan dari komite yang bertugas melakukan penafsiran dan pemaknaan fatwa di bidang perbankan syariah. Komite dimaksud kini telah terbentuk melalui PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang Komite Perbankan Syariah. Dalam Pasal 1 angka 1 PBI disebutkan bahwa:

Komite Perbankan Syariah, yang selanjutnya disebut Komite adalah forum yang beranggotakan para ahli di bidang syariah muamalah dan/atau ahli ekonomi, ahli keuangan, dan ahli perbankan, yang bertugas membantu Bank Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa Majelis Ulama Indonesia menjadi ketentuan yang akan dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia.

Tujuan pembentukan Komite ini adalah untuk membantu Bank Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa MUI dan mengembangkan perbankan syariah. Sebagai realisasi untuk mewujudkan tujuan dimaksud, maka Komite diberikan tugas dalam:[17]

a. menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah.

b. memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia.

c. melakukan pengembangan industri perbankan syariah.

Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bentuk rekomendasi Komite. Oleh karena itu diharapkan, bahwa dengan adanya Komite Perbankan Syariah akan memberikan angin segar bagi upaya penerapan prinsip syariah dalam operasional perbankan secara lebih murni.

2. Implementasi Prinsip Syariah dalam Produk Perbankan

Pengertian mengenai produk bank ini dapat kita jumpai dalam PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pasal 1 angka 5 PBI menyebutkan bahwa Produk Bank, yang selanjutnya disebut Produk, adalah produk yang dikeluarkan Bank baik di sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank yang sesuai dengan Prinsip Syariah, tidak termasuk produk lembaga keuangan bukan Bank yang dipasarkan oleh Bank sebagai agen pemasaran.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Perbankan syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya pada tahap awal berpedoman pada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Fatwa-fatwa dimaksud antara lain Fatwa No. 1/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, Fatwa No. 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, Fatwa No. 3/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito, ketiganya merupakan fatwa dalam produk penghimpunan dana. Sementara untuk produk penyaluran dana juga terdapat fatwa yang dapat dijadikan pedoman, antara lain Fatwa No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan seterusnya.

Melihat minat masyarakat yang semakin meningkat serta didorong oleh adanya perkembangan yang terjadi di negara lain, Bank Indonesia kemudian juga mengeluarkan regulasi berupa PBI, antara lain PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI dimaksud pada tahun 2007 dicabut dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Ketentuan terbaru sekaligus merupakan perubahan terhadap PBI No. 9/19/PBI 2007, yakni PBI No. 10/16/PBI/2008. PBI ini diundangkan dalam rangka penyesuaiannya dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. PBI No. 10/16/PBI/2008 mengatur mengenai teknis kegiatan usaha Bank Syariah, kemudian untuk produknya diatur dalam PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud, produk perbankan syariah dapat kita klasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) produk penghimpunan dana; (2) produk penyaluran dana; dan (3) produk di bidang jasa. Penjelasan mengenai ketiga produk tersebut secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Produk Penghimpunan Dana

Sama halnya dengan produk pada perbankan konvensional, produk perbankan syariah di bidang penghimpunan dana ini disebut sebagai simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Implementasi prinsip syariah dalam produk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan adalah sebagai berikut:

a. Giro. Produk giro dapat menggunakan akad wadiah maupun akad mudharabah. Giro yang menggunakan akad wadiah di dalamnya, maka pihak bank selaku penerima titipan dana dapat menggunakan dana titipan tersebut (yang dipakai akad wadiah ad-dhamanah), sehingga biasanya bank akan memberikan imbalan kepada nasabah penyimpan sejumlah bonus yang besarnya sesuai dengan kebijakan bank dan tidak diperjanjikan di awal. Sedangkan dalam hal bank menggunakan akad mudharabah dalam operasionalnya maka di dalamya terdapat penentuan nisbah bagi hasil antara bank dan nasabah di awal perjanjian. Pada giro wadiah nasabah terhindar dari risiko kehilangan/berkurangnya dana yang disimpan (jadi lebih safety), sedangkan pada giro mudharabah nasabah menanggung risiko berkurangnya dana yang disimpan dan sekaligus peluang untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan mendapatkan kompensasi berupa bagi hasil yang besarnya sesuai dengan nisbah sebagaimana telah diperjanjikan di awal.

b. Deposito. Produk deposito karena memang ditujukan sebagai sarana investasi, maka dalam praktik perbankan syariah hanya digunakan akad mudharabah. Melalui akad mudharabah ini pada awal perjanjian sudah ditentukan berapa nisbah bagi hasil baik bagi pihak nasabah maupun bagi pihak bank syariah sendiri.

c. Tabungan. Seperti pada giro, maka dalam produk tabungan ini nasabah dapat memilih untuk menggunakan akad wadiah atau mudharabah. Keuntungan maupun risiko yang ada sama halnya dengan pada giro, sedangkan perbedaannya terletak pada mekanisme pengambilan dana yang disimpan oleh nasabah.

2) Produk Penyaluran Dana

Sebagai lembaga intermediasi, maka bank syariah di samping melakukan kegiatan penghimpunan dana secara langsung kepada masyarakat dalam bentuk simpanan juga akan menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan (financing). Instrumen bunga yang ada dalam bentuk kredit digantikan dengan akad-akad tradisional Islam atau yang sering disebut perjanjian berdasarkan prinsip syariah. Penerapan dari akad-akad tradisional Islam ke dalam produk pembiayaan bank adalah sebagai berikut:

a. Pembiayaan berdasarkan akad jual beli. Jenis pembiayaan berdasarkan akad jual beli ini dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pembiayaan murabahah, pembiayaan salam, dan pembiayaan istishna. Inti dari pembiayaan berdasarkan pada akad jual-beli adalah bahwa nasabah yang membutuhkan suatu barang tertentu, maka padanya akan menerima barang dari pihak bank dengan harga sebesar harga pokok (historical cost) ditambah besarnya keuntungan yang dikehendaki oleh bank (profit margin/mark up) dan tentu saja harus ada kesepakatan mengenai harga tersebut oleh kedua belah pihak. Murabahah merupakan jual beli dimana barangnya sudah ada, sedangkan salam dan istishna adalah jual beli dengan pemesanan terlebih dahulu.

b. Pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Jenis pembiayaan ini diberikan kepada nasabah yang ingin mendapatkan manfaat atas suatu barang tertentu tanpa perlu memiliki. Untuk memenuhi kepentingan nasabah dimaksud, maka pihak bank syariah dapat menyewakan barang yang menjadi obyek sewa dan untuk itu pihak bank berhak mendapatkan uang sewa (ujrah) yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Varian dari akad sewa-menyewa ini selain berupa pembiayaan ijarah, maka dimungkinkan pihak nasabah untuk memiliki barang yang disewa di akhir masa sewa dengan penggunaan hak opsi melalui mekanisme hibah maupun mekanisme beli. Yang terakhir ini disebut Pembiayaan Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT).

c. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil. Pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil ini ditujukan untuk memenuhi kepentingan nasabah akan modal atau tambahan modal untuk melaksanakan suatu usaha yang produktif. Dalam praktik perbankan dikenal dua macam pembiayaan yang didasarkan pada akad bagi hasil, yaitu pembiayaan mudharabah dan pembiayaan musyarakah. Pembiayaan mudharabah pada prinsipnya adalah pembiayaan yang diberikan oleh bank (shahibul maal) kepada nasabah (mudharib) sejumlah modal kerja (100%) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan berupa penanaman dana dari pemilik dana/modal (dalam hal ini bank) untuk mencampurkan dana/modal mereka (nasabah/mudharib) pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan sesuai dengan porsi dana/modal masing-masing.

d. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam-meminjam. Pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini ditempuh bank dalam keadaan darurat (emergency situation), karena pada prinsipnya melalui pembiayaan berdasarkan akad pinjam meminjam ini bank tidak boleh mengambil keuntungan dari nasabah sedikitpun, kecuali hanya sebatas biaya administrasi yang benar-benar dipergunakan oleh pihak bank dalam proses pembiayaan. Pembiayaan berdasarkan akan pinjam-meminjam dibedakan menjadi dua yaitu pembiayaan qardh dan pembiayaan qardh al hasan.

3) Produk Jasa

Produk jasa bank merupakan produk yang saat ini terus dikembangkan. Produk ini dikatakan sebagai produk yang berbasis pada fee sebagai kompensasi yang harus diberikan nasabah kepada bank atas penggunaan jasa perbankan tertentu. Akad-akad tradisional Islam yang dapat diimplementasikan dalam produk jasa bank syariah antara lain berupa akad wakalah, akad hiwalah, akad kafalah, akan rahn, akad sharf, dan sebagainya. Penggunaan akad wakalah dalam produk jasa perbankan berupa kliring, inkaso, jasa transfer, dan Letter of Credit (L/C), kemudian akad hiwalah dipakai oleh bank dalam melakukan jasa berupa factoring, dan akad kafalah dipakai oleh bank dalam bentuk fasilitas bank garansi.

Keberadaan lembaga keuangan berupa Bank Syariah sebagaimana dikemukakan di atas diharapkan dapat berperan signifikan dalam pembangunan nasional. Kemudian dalam rangka untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, maka Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.[18]

Penerbitan SBSN sebagai instrumen keuangan dilakukan dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam menggerakkan perekonomian nasional secara berkesinambungan. Melalui penerbitan SBSN ini diharapkan mampu memobilisasi dana publik secara luas dengan memperhatikan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan karena potensi sumber pembiayaan pembangunan nasional yang menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang memiliki peluang besar belum dimanfaatkan secara optimal.

Institusi lain yang mendukung proses pembangunan adalah Lembaga Keuangan Bukan Bank, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan. Lembaga-lembaga dimaksud telah mulai menerapkan prinsip syariah dalam operasional kegiatan usahanya.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, menunjukkan bahwa proses pembangunan nasional, khususnya di Indonesia telah didukung oleh Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan. Lembaga-lembaga dimaksud selain dapat beroperasi secara konvensional juga dapat berdasarkan Prinsip Syariah, dimana untuk hal dimaksud telah mendapatkan dasar hukum yang memadahi.

Penutup

Demikian makalah singkat dari kami. Semoga dapat memberikan gambaran mengenai eksistensi hukum Islam dalam pembangunan sistem hukum nasional dan implementasinya dalam praktik dalam rangka mendukung proses pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, “Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah, Artikel pada Kajian Studi Ekonomi Islam, http://kasei-unri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=34, accesed 28 Januari 2009.

Anonim, Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia, Desember 2008, www.bi.go.id, accesed 5 Maret 2009.

Anshori, Abdul Ghofur,(ed), 2006, Begawan Hukum Gadjah Mada, Yogyakarta: Pilar Media.

-----------------------------, 2009, “Implementasi Hukum Ekonomi Islam dalam Sistem Perbankan di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana, Universitas Islam Riau, 7 Februari 2009.

Arifin, Zainul, 1999, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang dan Prospek, Jakarta: Alvabet.

Azizy, Qodry, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media.

Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press.

Kabul, Imam, 2005, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Media.

Kaelan, 2008, Dasar Filosofis Ilmu Hukum Dalam Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum, makalah disampaikan pada lokakarya Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum UGM dalam Menjawab Tantangan di Masa Depan, 06 Februari 2008.

Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, Soerjono, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI Press

Usman, Suparman, 2002, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah



[1] Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, hal 18.

[2] Imam Kabul, 2005, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Media, hal 8.

[3] Ibid, hal. 8.

[4] Soerjono Soekanto, 1983, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: UI Press, hal 162.

[5] Ibid, hal 170.

[6] Bagir Manan, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII Press, hal xi-xii.

[7] Abdul Ghofur Anshori (ed), 2006, Begawan Hukum Gadjah Mada, Yogyakarta: Pilar Media, hal vi-viii.

[8] Kaelan, 2008, Dasar Filosofis Ilmu Hukum Dalam Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum, makalah disampaikan pada lokakarya Perumusan ‘Nice’ Fakultas Hukum UGM dalam Menjawab Tantangan di Masa Depan, 06 Februari 2008, hal 8.

[9] Qodry Azizy, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, hal. xvii.

[10] Lihat Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998

[11] Zainul Arifin, 1999, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang dan Prospek, Jakarta: Alvabet, hal 27.

[12] Agustianto, “Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah, Artikel pada Kajian Studi Ekonomi Islam, http://kasei-unri.org/index.php?option=com_content&task=view&id=21&Itemid=34, accesed 28 Januari 2009.

[13] Suparman Usman, 2002, Hukum Islam, Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 6.

[14] Abdul Ghofur Anshori, 2009, “Implementasi Hukum Ekonomi Islam dalam Sistem Perbankan di Indonesia”, Makalah yang disampaikan pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana, Universitas Islam Riau, 7 Februari 2009.

[15] Lihat Konsideran UU No. 21 Tahun 2008.

[16] Lihat Pasal 1 angka 13 UU No. 10 Tahun 1998.

[17] Lihat Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008.

[18] Lihat Pasal 1 angka 1, Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 19 Tahun 2008.