Jumat, 28 Maret 2008

MEDIASI PERBANKAN


CATATAN KRITIS

TERHADAP PBI NO. 8/5/PBI/2006 TENTANG MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

DAN REKOMENDASI DALAM IMPLEMENTASINYA KE DEPAN

Oleh: Khotibul Umam, S.H.

Sektor Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen pembangunan (agent of development), karena bank merupakan lembaga keuangan yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Di samping itu perbankan juga merupakan agen kepercayaan (agent of trust) mengingat adanya salah satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip kepercayaan (fiduciary relation).

Walaupun hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabahnya didasarkan pada prinsip kepercayaan, akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat dihindarkan adanya sengketa (dispute) antara nasabah dan pihak bank. Hal ini berawal dengan terjadinya komplain yang diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank. Di sisi lain terkadang ada bank yang kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau bahkan mengabaikannya. Padahal bank memiliki kewajiban untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Lembaga Pengaduan Nasabah berada pada internal bank yang bersangkutan, sehingga penyelesaiannya merupakan kebijakan bank dimana nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Ketika nasabah menerima putusan yang diberikan oleh bank tersebut, maka permasalahan selesai. Akan tetapi terkadang ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak memberikan solusi seperti yang diinginkannya, sehingga berbagai cara akan ditempuh antara lain melaporkan kepada Lembaga Konsumen, Lembaga Ombudsman, mengajukan gugatan secara perdata, bahkan terkadang ada nasabah yang melaporkan bank kepada polisi. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian melalui lembaga-lembaga tersebut seringkali berlarut-larut dan terlalu prosedural sehingga harapan kedua belah pihak untuk memperoleh solusi terbaik secara sederhana, murah, dan cepat belum tentu dapat tercapai.

Berdasarkan pada kondisi dimaksud maka diperlukan sebuah lembaga penyelesaian sengketa alternatif (alternatif dispute resolution) yang mampu melaksanakan fungsi dispute settlement yang bersifat win-win solution, sehingga dapat lebih memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa secara proporsional.

Salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh para pihak adalah mediasi. Mediasi adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Perlu ditekankan di sini bahwa mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan suatu sengketa. Ia hanya boleh memberikan masukan-masukan berupa alternatif solusi bagi para pihak yang sedang bersengketa.

Khusus untuk perbankan mengenai mediasi ini diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank.[1] Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).

Beberapa Catatan Kritis Terhadap PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan

Mengenai Mediasi Perbankan sebagaimana diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 pada kenyataanya masih menimbulkan beberapa pertanyaan dan permasalahan yang perlu diantisipasi dalam implementasinya ke depan. Untuk itu akan dikemukakan beberapa catatan kritis dalam rangka optimalisasi pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dalam rangka penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank, serta konsepsi ke depan yang terkait dengan Lembaga Mediasi Perbankan Independen (LMPI). Beberapa catatan dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, untuk melaksanakan fungsi mediasi perbankan ini nantinya akan dilakukan oleh LMPI yang dibentuk asosiasi perbankan selambat-lambatnya 31 Desember 2007.[2] Sepanjang LMPI belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Pembentukan LMPI ini menurut pendapat Penulis perlu melibatkan Bank Indonesia, karena apabila sepenuhnya diserahkan kepada asosiasi perbankan tanpa campur tangan Bank Indonesia akan sulit terwujud mengingat pendirian LMPI ini tidak mudah terutama menyangkut eksistensi LMPI sebagai lembaga mediasi dikaitkan dengan fungsinya sebagai mediator antara bank dan nasabah. Keterlibatan Bank Indonesia dalam pembentukan LMPI ini juga memudahkan koordinasi antara Bank Indonesia dengan LMPI yang terbentuk sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 3 ayat (3) PBI No. 8/5/PBI/2006. Meskipun pembentukannya melibatkan BI akan tetapi hendaknya dalam pelaksanaan tugasnya harus tetap independen dan mengenai pertanggungjawabannya hendaknya ditujukan kepada publik (public responsibility).

Kedua, fungsi mediasi perbankan yang saat ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia, terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa yang terjadi secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan. Dalam rangka melaksanakan fungsi Mediasi perbankan sebagaimana dimaksud, Bank Indonesia menunjuk Mediator yang memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk bisa menjadi mediator sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni: memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan, dan atau hukum; tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas penyelesaian sengketa; dan tidak memiliki hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

Dalam bagian ini dirasakan masih perlu mendapatkan pengaturan mengenai seleksi mediator dan mekanisme penerimaan mediator, tata kerja mediator, hak dan kewajiban mediator. Hal ini penting adanya mengingat kemampuan mediator dalam menjalankan fungsinya akan sangat mempengaruhi eksistensi LMPI, yakni terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap kapabilitas dan integritas LMPI.

Ketiga, terkait dengan sengketa yang dapat diajukan kepada Bank Indonesia/LMPI adalah sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan bukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immateriil.[3]

Hal ini tentu saja masih menimbulkan pertanyaan bagaimana apabila ada kerugian nasabah di atas Rp. 500 juta? Jika hal ini tidak diakomodir berarti masih terbuka kemungkinan sengketa diselesaikan melalui jalur di luar LMPI. Penulis lebih mengacu pada filosofi pembentukan LMPI itu sendiri, yakni bahwa diperlukan penyelesaian sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank yang dilakukan secara sederhana, murah, dan cepat. Karena penyelesaian sengketa yang berlarut-larut dapat merugikan nasabah dan meningkatkan risiko reputasi bagi bank, untuk itu perlu dipikirkan mengenai kemungkinan bahwa di atas Rp. 500 juta, nasabah masih diperkenankan mengajukan permohonan penyelesaian sengketa yang terjadi ke LMPI atau untuk saat ini ke Bank Indonesia.

Keempat, bahwa pengajuan penyelesaian sengketa dalam rangka Mediasi Perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah. Kemudian dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.

Catatan yang dapat diberikan adalah bahwa kesediaan bank untuk datang atau tidak sangat tergantung pada organisasi LMPI. Apabila LMPI masih terkait dengan Bank Indonesia maka dapat dipastikan bank akan patuh pada panggilan LMPI namun apabila LMPI ini tidak terkait dengan Bank Indonesia potensi bank mengabaikan panggilan LMPI sangat besar. Oleh sebab itu ketidakpatuhan bank memenuhi panggilan LMPI tidak hanya cukup dikenakan sanksi administratif seperti yang diatur dalam Pasal 16 PBI ini, namun juga diperlukan adanya sanksi berupa denda sebagaimana halnya yang saat ini diterapkan Bank Indonesia dalam hal bank terlambat dan atau tidak melaporkan dan atau salah dalam membuat pelaporan mengenai pengelolaan bank yang bersangkutan ke Bank Indonesia (denda langsung di debet dari rekening bank).

Kelima, ketentuan mengenai pengajuan sengketa paling lambat 60 hari kerja sejak tanggal hasil penyelesaian pengaduan disampaikan bank kepada nasabah.[4] Di sini perlu dibuat alternatif seandainya bank tidak memberikan jawaban secara tertulis kepada nasabah atau bank tidak menanggapi keluhan nasabah dalam rangka pengaduan nasabah secara tertulis. Hal ini sangat penting mengingat dalam praktik keluhan-keluhan nasabah umumnya ditanggapi secara lisan oleh bank, atau bahkan tidak ditanggapi sama sekali. Dalam hal tidak ditanggapi apakah berarti proses pengaduan dianggap telah ditempuh, sehingga nasabah secara hukum bisa mengajukan permasalahannya kepada LMPI atau untuk saat ini ke Bank Indonesia.

Keenam, bahwa dalam Pasal 9 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat: Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, kemudian Bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa perlu pengaturan dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate), padahal nasabah telah melakukan pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap penyelesian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Untuk itu disini diusulkan agar sejak semula para pihak sudah setuju untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan dana dapat disertakan pada buku rekening simpanan nasabah bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui Lembaga Mediasi Perbankan setelah terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah. Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai mandatory mediation[5] yang didasarkan pada kesepakatan bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan penyelesaian sengketa (Vide Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat untuk melaksanakannya semata-mata karena memang diperjanjikan (asas pacta sunt servanda).

Ketujuh, dalam Pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara Nasabah dengan Bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta Kesepakatan. Di sini sebaiknya diatur tenggang waktu kapan bank harus memenuhi atau mentaati Akta Kesepakatan tersebut sekaligus sanksi apa yang akan dikenakan terhadap bank, apabila bank ternyata tidak memenuhi dan atau terlambat dalam memenuhi hal-hal yang telah disepakati dalam Akta dimaksud.

Kedelapan, Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di bidang perbankan dengan cara Mediasi kepada Nasabah. Tugas publikasi ini di samping perlu dilaksanakan oleh setiap bank, menurut hemat penulis hendaknya juga dilaksanakan oleh Bank Indonesia sejak dini melalui proses sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan di bidang perbankan khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini perlu dilakukan mengingat masyarakat perlu memperoleh edukasi di bidang Mediasi Perbankan, sehingga nasabah riil maupun yang potensial (masyarakat yang belum menjadi nasabah bank) sejak awal telah mengetahui bahwa ada sarana yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya kerugian dalam hal melakukan transaksi keuangan dengan bank yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan impartial, serta memenuhi asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Rekomendasi Kedepan terhadap Eksistensi Lembaga Mediasi Perbankan di Indonesia

Berdasarkan pada pemaparan di atas beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita semua terkait PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dalam implementasinya ke depan, yaitu sebagai berikut:

1. Keberadaan LMPI sangat dibutuhkan dalam praktik perbankan di Indonesia terutama sebagai upaya melindungi nasabah dan bank sehingga LMPI harus segera mungkin dibentuk. Adapun pembentukan LMPI sebaiknya jangan diserahkan sepenuhnya kepada organisasi bank/asosiasi perbankan tanpa campur tangan Bank Indonesia atau dengan kata lain bahwa pembentukan LMPI lebih baik dilakukan bersama-sama oleh Bank Indonesia dengan Asosiasi Perbankan. Namun perlu ditekankan bahwa meskipun LMPI nantinya dibentuk secara bersama-sama oleh Bank Indonesia dan Asosasi Perbankan, akan tetapi sifatnya harus tetap independen dalam artian perlu adanya mekanisme agar LMPI yang sudah terbentuk bebas dari intervensi dari Bank Indonesia maupun Asosiasi Perbankan yang ada.

2. Masih diperlukannya pengaturan lebih rinci mengenai tugas LMPI, hak dan kewajibannya, tata cara rekruitmen mediator, pembiayaan, dan sebagainya.

3. Penentuan mengenai nilai nominal sengketa yang dapat diajukan kepada Bank Indonesia/LMPI seyoganya tidak strict sebagaimana yang tertuang dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

4. Sanksi bagi bank yang tidak mematuhi ketentuan tentang kewajiban memenuhi panggilan dari Bank Indoensia atau LMPI tidak hanya administratif, tetapi juga perlu ada sanksi berupa denda seperti yang diterapkan Bank Indonesia kepada bank-bank yang terlambat membuat pelaporan dengan cara mendebet langsung dari rekening bank yang bersangkutan.

5. Perlu menjadi pertimbangan dalam rangka memenuhi asas penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan biaya ringan berupa pemberian kebebasan para pihak untuk memilih forum penyelesaian sengketa. Misalnya dengan membuat mediation clause berupa penunjukan LMPI, tanpa terlebih dahulu menempuh prosedur pengaduan nasabah yang pada praktiknya tidak selalu memuaskan nasabah. Di samping itu karena dalam hal penyelesaian sengketa ini pada prinsipnya tunduk pada hukum perjanjian yang menganut sistem terbuka (open system) yakni Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUHPerdata

6. Kekuatan mengikat dari hasil mediasi yang pada hakikatnya merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau perwakilan nasabah dapat mendasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang intinya menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi disamping memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan PBI No. 8/5/PBI/2006 harus dituangkan dalam bentuk Akta Kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank. Sehingga yang perlu dipikirkan adalah mengenai sanksi dalam hal terdapat salah satu pihak yang tidak mau secara sukarela melaksanakannya berikut upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak berhubung tidak dilaksanakannya hasil proses mediasi perbankan, misalnya dengan menganggap bahwa yang bersangkutan wanprestasi sehingga bisa dituntut pembayaran ganti kerugian.

7. Perlu dipikirkan supaya LMPI juga melayani bank yang kemungkinan dirugikan oleh nasabahnya. Hal ini juga untuk menegaskan bahwa bank sebenarnya merupakan pihak dalam proses mediasi yang berpotensi menderita kerugian finansial dalam kegiatan transaksi keuangan dengan nasabah.

8. Pelaksanaan fungsi edukasi masyarakat terhadap perbankan, khususnya mediasi perbankan perlu segera dilaksanakan oleh semua bank.

Daftar Pustaka:

Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 November 2007.

Soebagjo, Felix Oentoeng, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama Magíster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.


[1] Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 November 2007.

[2] Lihat Pasal 3 ayat (1) dan (2) PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

[3] Lihat Pasal 6 ayat (1) dan (2) PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan

[4] Lihat Pasal 8 ayat (6) dan (2) PBI No. 8/5/PBI/2006

[5] Felix Oentoeng Soebagjo, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama Magíster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.

Senin, 17 Maret 2008

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP UU NO. 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DALAM RANGKA AKSELERASI PERKEMBANGAN BISNIS ASURANSI UMUM SYARIAH

Oleh: Khotibul Umam, S.H.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan lembaga keuangan baik lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non-bank berlangsung dengan begitu pesatnya. Hal ini ditandai dengan munculnya instrumen-instrumen baru terkait dengan produk suatu lembaga keuangan. Adanya seringkali tidak direspon secara cepat oleh munculnya regulasi, sehingga praktik yang terjadi masih mendasarkan pada ketentuan lama yang belum tentu cocok bagi perkembangan baru dimaksud.

Hal inilah yang saat ini sedang terjadi dalam bidang asuransi umum. Usaha perasuransian masih mendasarkan pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang menurut pendapat Penulis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada, misalnya dengan munculnya perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang pengelolaannya berdasarkan prinsip syariah.

Berbeda dengan perbankan, walaupun belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perbankan syariah, akan tetapi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sudah mengakui eksistensi dari perbankan syariah ini. Regulasi perbankan syariah juga didukung oleh Bank Indonesia yang telah mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang memang secara khusus mengatur mengenai kelembagaan dan operasionalisasi bank berdasarkan prinsip syariah, baik Bank Umum Syariah maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Adapun contoh mengenai hal ini adalah diundangkannya PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Sementara itu tentang usaha perasuransian sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 belum memberikan dasar hukum bagi eksistensi usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah. Hal ini misalnya saja dapat dilihat dari definisi asuransi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka (1) dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992, yaitu sebagai berikut:

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang tertanggung”.

Dalam definisi mengenai asuransi tersebut masih terlihat adanya unsur yang dilarang dalam Islam, yaitu unsur ketidakpastian (gharar) berupa memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.

Sementara itu Islam menekankan bahwa setiap transaksi keuangan yang dilakukan tidak boleh mengandung unsur yang dilarang, yaitu unsur perjudian (maisyir), unsur ketidakpastian (gharar), unsur riba, unsur suap-menyuap (ryswah), dan unsur bathil. Kelima unsur itu lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB. Dengan melihat definisi mengenai asuransi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya belum sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam Islam, karena di dalamnya paling tidak terdapat dua unsur yang dilarang dalam Islam yaitu unsur maisyir dan unsur gharar. Untuk itu sementara orang Islam masih ragu, atau bahkan tidak mau mengikuti program asuransi kerugian atau asuransi jiwa, karena di samping adanya kecenderungan hanya menguntungkan salah satu pihak yakni perusahaan asuransi, juga karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang diharamkan dalam Islam. Dengan demikian konsekuensi yang timbul dengan mengikuti program asuransi konvensional bersifat ganda yakni dunia dan akhirat yang sama-sama tidak menguntungkan.

Praktik usaha perasuransian yang mendasarkan pada prinsip syariah saat ini berpedoman pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dan secara teknis pengaturan ada di dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang di samping berlaku bagi usaha perasuransian konvensional, juga berlaku bagi usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah. Adapun beberapa KMK dimaksud yaitu KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, KMK No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, serta KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Walaupun mengenai usaha persasuransian berdasarkan prinsip syariah secara teknis sudah diatur melalui beberapa KMK, namun dirasa perlu untuk memperkokoh keberadaannya yakni mengaturnya dalam produk hukum berupa undang-undang. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan merevisi atau mengamandemen Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, bahkan kalau memang perlu mengingat karakteristik yang berbeda antara asuransi konvensional dan asuransi syariah bisa juga dibuat suatu undang-undang yang secara khusus mengatur perihal usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah.

Berdasarkan pada pemaparan singkat di atas, maka Penulis tertarik untuk menyusun sebuah karya tulis dengan judul Urgensi Amandemen Terhadap UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam Rangka Akselerasi Perkembangan Bisnis Asuransi Umum Syariah di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas masalah yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana urgensitas amandemen terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam rangka untuk mengakselerasi perkembangan bisnis asuransi umum syariah di Indonesia?

C. URGENSI AMANDEMEN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DALAM RANGKA AKSELERASI PERKEMBANGAN BISNIS ASURANSI UMUM SYARIAH DI INDONESIA

1. Lingkup Pengaturan Usaha Perasuransian Via Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992

Bentuk hukum dari usaha perasuransian yang diperkenankan dalam kontek hukum positif Indonesia terdiri Perusahaan Perseroan, Koperasi, dan Usaha Bersama (mutual). Dengan demikian secara kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi juga tunduk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, di samping Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 pada dasarnya merupakan hukum publik yang mengatur kegiatan usaha perasuransian, sedangkan perjanjian yang timbul sehubungan dengan kontrak asuransi diatur tersendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-undang Dagang (KUHD) yang merupakan hukum privat.

Dalam KUHPerdata perjanjian pertanggungan atau asuransi termasuk dalam kategori perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. Adapun yang termasuk perjanjian untung-untungan ini selain perjanjian pertanggungan atau asuransi ada juga bunga cagak hidup, perjudian, dan pertaruhan. Penegasan yang diberikan oleh KUHPerdata ini adalah bahwa perjanjian pertanggungan diatur secara khusus di dalam KUHD.[1]

Adapun pengertian asuransi atau pertanggungan dalam KUHD adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.[2]

Kalau dilihat antara pengertian asuransi atau pertanggungan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian sebagaimana telah disebut di atas dan pengertian dalam KUHD, ternyata pengertian dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 lebih luas karena didalamnya mencakup pula asuransi jiwa di samping asuransi kerugian. Sedangkan pengertian asuransi atau pertanggungan dalam KUHD hanya mencakup asuransi kerugian.

Dengan melihat definisi di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa asuransi termasuk dalam jenis perjanjian timbal balik, dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya yakni penanggung dan tertanggung memiliki hak dan kewajiban secara timbal balik berupa prestasi tertentu. Untuk itu, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata intinya menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya dan padanya tidak boleh diputuskan secara sepihak, serta harus dilaksanakan dengan penuh itikad baik. Perjanjian sah adalah perjanjian yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu terdapat kesepakatan bebas antara kedua belah pihak, adanya kecakapan bertindak secara hukum, adanya obyek tertentu yang diperjanjikan, dan adanya suatu kausa/sebab yang halal.

Adanya asuransi atau pertanggungan yang diatur secara khusus dalam KUHD, maka berlakulah asas lex specialis derogat lege generalis. Berlakunya asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 1 KUHD yang intinya menyatakan bahwa sepanjang tidak diatur secara khusus dalam kitab undang-undang ini, maka berlakulah ketentuan yang ada dalam KUHPerdata.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka ketentuan mengenai asuransi yang ada di dalam KUHD tersebut menjadi tidak berlaku.

Apa yang telah dikemukakan di atas adalah pengertian asuransi secara konvensional, yang mana intinya obyek dari asuransi atau pertanggungan adalah sebuah evenement[3]. Ketika evenement terjadi maka pihak pemegang polis berhak mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi untuk mendapatkan santunan

Secara lengkap mengenai hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tersebut antara lain meliputi:

a. Bidang Usaha, Jenis Usaha, Ruang Lingkup Usaha, serta Bentuk Hukum Usaha Perasuransian;

b. Obyek Asuransi;

c. Kepemilikan dan Perizinan Usaha Perasuransian;

d. Pembinaan dan Pengawasan;

e. Kepailitan dan Likuidasi; dan

f. Ketentuan Pidana.

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 disebutkan bahwa usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang:[4]

a. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang.

b. Usaha penunjang usaha asuransi, yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian, kerugian asuransi, dan jasa akturia.

Adapun jenis usaha perasuransian meliputi usaha asuransi yang terdiri dari: Pertama, usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan; Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.[5]

Sedangkan jenis usaha penunjang asuransi terdiri dari: Pertama, usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung; Kedua, usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi; Ketiga, usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan; Keempat usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultan aktuaria; dan Kelima, usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.[6]

Usaha asuransi sebagaimana dimaksud di atas hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perasuransian, dengan ruang lingkup kegiatan sebagai berikut:[7]

a. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi.

b. Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

c. Perusahaan Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.

Dengan demikian tujuan asuransi yang secara implisit diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 pada prinsipnya berupa pengalihan risiko, pembayaran ganti kerugian, pembayaran santunan, dan untuk kesejahteraan anggota.[8]

Konsep pengalihan risiko (transfer of risk) inilah yang juga dianggap tidak sesuai untuk diterapkan dalam asuransi syariah yang menghendaki adanya pembagian risiko (sharing of risk). Untuk itu dapat dikatakan bahwa pengaturan asuransi umum syariah melalui undang-undang ini dirasakan belum tepat dan belum sesuai dengan yang seharusnya, sehingga adanya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian merupakan sautu keniscayaan untuk memajukan usaha perasuransian di Indonesia, khususnya usaha perasuransian yang berdasarkan prinsip syariah.

Tugas pembentukan dan/atau perubahan suatu undang-undang merupakan tugas regulator, yang dalam hal ini menjadi tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama dengan Presiden.[9]

Secara tegas dapat dikatakan bahwa pengaturan usaha perasuransian via Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 belum dapat memberikan pijakan hukum yang kokoh bagi ekesistensi usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah di Indonesia.

2. Regulasi Terhadap Bisnis Asuransi Umum Syariah di Indonesia Saat Ini

a. Sejarah Singkat

Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti, yang diselenggarakan berdasarkan prinsip konvensional dan atau Prinsip Syariah.

Dengan demikian maka asuransi umum secara operasional dapat dibedakan menjadi dua yaitu asuransi konvensional dan asuransi berdasarkan prinsip syariah. Fenomena penerapan prinsip syariah dalam lembaga keuangan berupa bank ternyata juga terjadi pada lembaga keuangan non bank yang salah satunya adalah pada perusahaan perasuransian.

Secara historis keberadaan asuransi syariah di Indonesia dimulai pada tanggal 24 Februari 1994 yaitu dengan berdirinya PT Syarikat Takaful Indonesia. Pembentukannya diprakarsai oleh Ikatan Cendekiwan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia Tbk., PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha muslim Indonesia. Melalui kedua anak perusahaannya yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi Takaful Umum, Perusahaan telah memberikan jasa perlindungan asuransi yang menerapkan prinsip-prinsip murni syariah pertama di Indonesia.[10]

Perkembangan berikutnya dari asuransi syariah juga cukup signifikan yaitu dengan munculnya beberapa perusahaan asuransi konvensional yang membuka layanan asuransi syariah melalui mekanisme Islamic Window. Perusahaan asuransi umum yang membuka layanan syariah melalui mekanisme Islamic Window ini antara lain adalah PT Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967.

PT Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 Cabang Syariah, memperoleh izin pendirian sejak 19 Februari 2004, yakni melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. Kep-075/KM.6/2004. Secara resmi kegiatan operasional dari perusahaan ini dimulai sejak bulan April 2004.[11]

Menurut hemat Penulis perkembangan asuransi syariah ke depan juga mempuyai prospek yang cerah, mengingat luasnya pangsa pasar (market share) yang belum tersentuh oleh asuransi, khususnya masyarakat muslim yang jumlahnya mayoritas. Untuk itu secara hukum perlu didukung oleh regulasi yang memadai berupa peraturan perundang-undangan sehingga akan tercapai tujuan dari adanya asuransi syariah yang di samping mengemban misi bisnis juga mengemban misi sosial.

b. Regulasi Terhadap Bisnis Asuransi Umum Syariah

Di tingkat undang-undang sebagaimana disebut di atas dasar hukum bagi usaha perasuransian adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Undang-undang ini tidak memadahi jika dijadikan sebagai dasar hukum bagi usaha perasuransian yang berdasarkan prinsip syariah, kecuali dari segi kelembagaannya.

Untuk itu regulasi bagi bisnis asuransi umum berdasarkan prinsip syariah, dasar pijakan awalnya berupa fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), dan kemudian setelah itu muncullah peraturan perundang-undangan berupa Keputusan Menteri Keuangan (KMK), serta lebih teknis lagi berupa Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dimana di dalamnya telah memasukkan nilai-nilai syariah.

Dengan demikian asuransi sebagai lembaga keuangan bukan bank juga menerapkan prinsip syariah dalam operasional usahanya. Konsep asuransi konvensional yang menekankan pada pengalihan risiko (risk transfering), agar sesuai dengan prinsip syariah perlu diubah menjadi pembagian risiko (risk sharing) berdasarkan prinsip tolong menolong (ta’awuniyah) dan menghilangkan adanya unsur yang dilarang dalam Islam berupa MAGHRIB.

Secara umum perihal asuransi syariah ini mempunyai dua fungsi yaitu fungsi bisnis (tijarah) dan fungsi sosial (tabarru’). Untuk fungsi tijarah, maka para pihak dapat menerapkan akad mudharabah musytarakah dan akad wakalah bil ujrah, sedangkan untuk fungsi tabarru’ para pihak dapat menerapkan akad akad tabarru’ yang merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. Adapun pengertian tabarru’ sendiri adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial an sich.

Mengenai asuransi syariah ini dalam fatwa DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, dikatakan bahwa Asuransi Syariah (ta’min, takful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk dalam asuransi atau yang lazim disebut dengan polis dalam hal ini harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk itu maka dalam pembuatan polis asuransi dapat menerapkan akad-akad tradisional Islam, baik itu akad tijarah maupun akad tabarru.

Dalam fatwa DSN-MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan akad yang sesuai dengan syariah adalah akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.

Secara faktual operasional asuransi syariah selain dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan ketentuan fatwa DSN-MUI di atas, secara teknis diatur dalam beberapa KMK, yaitu KMK No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. KMK inilah yang menjadi dasar dalam pendirian asuransi syariah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 KMK No. 426/KMK.06/2003 yang menyebutkan bahwa: “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah....”

Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tatacara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. Kemudian Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

Mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi syariah dan perusahaan reasuransi syariah secara teknis telah diatur dalam KMK No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Adapun ketentuan yang yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

Dengan demikian hampir sama dengan asuransi konvensional, usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi. Perbedaannya dengan asuransi konvensional adalah terletak pada akad/perjanjian yang digunakan dan pengelolaan premi yang terkumpul, serta manfaat asuransi yang akan diperoleh para peserta asuransi yang bersangkutan.

Cara melakukan usaha asuransi atau reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dapat dilakukan dengan melalui beberapa cara. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yaitu sebagai berikut:

a. Pendirian baru Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah;

b. Konversi dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Asuransi dengan Prinsip Syariah atau konversi dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah;

c. Pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional atau Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional; atau

d. Konversi dari kantor cabang Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi dengan prinsip konvensional, atau konversi dari kantor cabang Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.

Berdasarkan ketentuan di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap orang dapat mendirikan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi melalui tiga macam cara, yaitu:

a. Pendirian baru

b. Konversi dari konvensional ke Perusahaan Asuransi/Perusahaan Reasuransi Berdasarkan Prinsip Syariah

c. Islamic Windows, yaitu dengan pendirian kantor cabang baru dengan prinsip syariah di Perusahaan Asuransi/Perusahaan Reasuransi Konvensional, atau melalui konversi cabang konvensional ke cabang syariah

Khusus mengenai konversi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi konvensional menjadi perusahaan asuransi atau perusahaan dengan Prinsip Syariah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[12]

a. Tidak merugikan tertanggung atau pemegang polis;

b. Memberitahukan konversi tersebut kepada pemegang polis; dan

c. Memindahkan portofolio pertanggungan ke perusahaan asuransi konvensional lain atau membayarkan nilai tunai pertanggungan, bagi tertanggung atau pemegang polis yang tidak bersedia menjadi tertanggung atau pemegang polis dari perusahaan asuransi dengan Prinsip Syariah.

Di samping itu dalam rangka pendirian atau konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan:[13]

a. Bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian di bidang asuransi dan atau ekonomi syariah;

b. Bukti pengesahan Dewan Syariah Nasional tentang penunjukan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan;

c. Bukti pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan atas produk asuransi yang akan dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:

1) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan asset share atau profit testing bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;

2) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan proyeksi underwriting bagi Perusahaan Asuransi Kerugian;

3) cara pemasaran;

4) rencana dukungan reasuransi otomatis bagi Perusahaan Asuransi dan rencana dukungan retrosesi bagi Perusahaan Reasuransi; dan

5) contoh polis, surat permohonan penutupan asuransi (SPPA) dan brosur.

d. Pedoman pelaksanaan manajemen keuangan sesuai syariah yang sekurang-kurangya mengatur mengenai penempatan investasi baik batas jenis maupun jumlah;

e. Pedoman penyelenggaraan usaha sesuai syariah yang sekurang-kurangnya mengatur mengenai penyebaran risiko; dan

f. Bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bagi konversi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b.

Ketentuan lain yang harus diperhatikan kaitannya dengan usaha asuransi dengan Prinsip Syariah dalam bentuk kantor cabang ialah adanya keharusan untuk melakukan pemisahan kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan Prinsip Syariah dari kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan prinsip konvensional. Hal ini berlaku baik bagi Perusahaan Asuransi ataupun Perusahaan Reasuransi[14]

Secara empiris mengenai produk yang ada di dalam asuransi syariah dapat dilihat pada produk yang disediakan oleh PT. Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 Syariah, yaitu:[15]

a. Produk Standard Syariah berupa: Asuransi Kebakaran, Asuransi Kendaraan, Asuransi Kesehatan, Asuransi Kecelakaan Diri, Asuransi Pengangkutan, Asuransi Engineering, Asuransi Kebongkaran, Asuransi Cash In Safe & Transit, Asuransi Aneka (Billboard, Public Liability, Glass, Moveable All Risk, dll), Tanggung Gugat Dokter serta asuransi yang bersifat tailor made (sesuai kebutuhan).

b. Produk Paketkoe Syariah berupa: Asuransi Rumahkoe, Motorkoe, Mobilkoe, Sehatkoe, Siswakoe, Karyawankoe, dan Wargakoe.

3. Urgensi Amandemen Terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 untuk Mengakselerasi Perkembangan Bisnis Asuransi Umum Syariah

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa undang-undang yang mengatur tentang usaha perasuransian, yakni Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum bagi usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah, kecuali hanya terkait dengan dengan kelembagaan dan perizinannya.

Dalam rangka meningkatkan peranan usaha perasuransian dalam pembangunan, perlu diberikan kesempatan yang lebih luas bagi pihak-pihak yang ingin berusaha di bidang perasuransian, dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang sehat dan bertanggung jawab, sekaligus dapat mendorong kegiatan perekonomian pada umumnya. Di samping itu adanya usaha perasuransian yang mendasarkan pada prinsip syariah yang secara empiris telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perasuransian perlu mendapatkan landasan hukum yang kuat.

Usaha perasuransian yang sehat merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi risiko yang dihadapi oleh masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat, sehingga memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian, dalam upaya memajukan kesejahteraan umum.

Dengan demikian perlunya pengaturan usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah dalam undang-undang adalah dalam rangka memperkokoh eksistensinya dalam lalu-lintas hukum. Adalah tidak logis jika sudah ada peraturan teknisnya, namun di tingkat peraturan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi semua warga negara yakni berupa undang-undang belum ada.

Adapun untuk mengatur perihal usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah di tataran undang-undang ini pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua macam cara, yaitu:

a. Melalui amandemen/perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

b. Pembuatan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah.

Dari dua alternatif tersebut, menurut hemat Penulis cara pertamalah yang hendaknya di tempuh, yaitu melakukan perubahan atau amandemen atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Hasil perubahannya nanti di dalamnya perlu ada pasal-pasal yang memberikan dasar hukum bagi usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah, disamping pasal-pasal yang mengatur perasuransian konvensional.

Dengan demikian pengaturan mengenai usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah ini nantinya menjadi satu dengan pengaturan mengenai usaha perasuransian konvensional, seperti halnya dengan pengaturan perbankan syariah pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Adanya amandemen/perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang di dalamnya mengakui eksistensi usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah mempunyai urgensi untuk dilaksanakan. Melalui undang-undang baru nantinya diharapkan dapat memperkokoh kedudukan usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah dan lebih lanjut dapat mengakselerasi perkembangan bisnis asuransi umum berdasarkan prinsip syariah di Indonesia.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya amandemen terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mempunyai urgensi dalam rangka mengakselerasi perkembangan bisnis asuransi umum syariah di Indonesia. Pengaturan tentang operasional usaha persuransian berdasarkan prinsip syariah yang sudah ada dalam beberapa KMK, perlu didukung oleh adanya pengaturan di tataran undang-undang sehingga eksistensinya akan semakin kokoh.

2. Saran

Saran yang dapat Penulis berikan kaitannya dengan permasalahan dalam karya tulis ini adalah bahwa untuk mengatur usaha perasuransian melalui undang-undang yang paling tepat adalah melalui proses amandemen terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Tidak perlu membuat undang-undang yang secara khusus mengatur perihal usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah, cukup dengan satu undang-undang saja akan tetapi mengatur keduanya (konvensional dan syariah).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007, Sekilas Takaful Indonesia, http://www.takaful.com/index.php/profile/list/, tanggal akses 18 Desember 2007.

Anonim, 2007, Company Profil PT Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 Cabang Syariah, http://www.bumida.co.id/visimisi.php?id_trees_category=18&, tanggal akses 18 Desember 2007.

Muhammad, Abdulkadir, 1999, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (cet. 29), Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Subekti, R dan R. Tjitrosudibio, 2000, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan (cet. 26), Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi,

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.


[1] Lihat Pasal 1774 KUHPerdata (Terjemahan dari R. Subekti dan Tjitrosudibio).

[2] Pasal 246 KUHD

[3] Evenement adalah suatu peristiwa yang pada hakikatnya tidak dikehendaki dan tidak dapat diketahui secara pasti kapan terjadinya.

[4] Lihat Pasal 2 UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

[5] Lihat Pasal 3 huruf a UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

[6] Lihat Pasal 3 huruf b UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

[7] Pasal 4 UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

[8] Abdulkadir Muhammad, 1999, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal 12-15.

[9] Lihat Pasal 20 UUD 1945 Pasca Amandemen.

[10] Anonim, 2007, Seklias Takaful Indonesia, http://www.takaful.com/index.php/profile/list/, tanggal akses 18 Desember 2007.

[11] Anonim, 2007, Company Profil PT Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 Cabang Syariah, http://www.bumida.co.id/visimisi.php?id_trees_category=18&, tanggal akses 18 Desember 2007.

[12] Pasal 4 ayat (2) KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

[13] Pasal 4 ayat (3) KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

[14] Lihat Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

[15] Company Profile PT. Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 Cabang Syariah, www.bumida.co.id, tanggal akses 17 Desember 2007.